Sunday 4 September 2016

Makalah UUPA dan HUkum Tanah di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang Masalah.
Kajian terhadap Hukum Agraria sudah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan, baik dalam bentuk buku-buku referensi, jurnal ilmiah dan di dalam seminar-seminar serta simposium yang bertajuk Agraria. Tetapi kajian-kajian tersebut tidak begitu fokus mengkaji tentang sejarah hukum agraria, bagaimana lahirnya hukum agraria di Indonesia sampai terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960. Bahkan wacana untuk mengamandemen Undang-undang Pokok Agraria, yang selanjutnya dalam makalah ini disebut UUPA, terus dilakukan guna menyesuaikan peraturan-peraturan di bidang ke-agraria-an yang sudah dianggap tidak mengakomodir perkembangan masyarakat. Ini membuktikan bahwa hukum – khususnya hukum agararia – terus berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan masayarakat, untuk itu diperlukan suatu kajian ilmiah tentang bagaimana rangkaian sejarah (hukum) hukum agraria Indonesia guna mengetahui setiap perkembangan yang terjadi di bidang agraria. Dengan demikian setidaknya dari kajian itu dapat diperoleh bahan untuk dijadikan pegangan dalam melakukan pembaharuan (hukum) terhadap hukum agraria.
Substansi yang akan dibahas di dalam makalah singkat ini terfokus kepada sejarah hukum agraria sebagai salah satu bagian yang integral dari sistem hukum Indonesia yang memanikan peranan penting dalam upaya pembangunan masyarakat guna mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara. Dalam kajian terhadap hukum agraria ini penulis melakukan kajian dari pendekatan sejarah. Hal ini penulis anggap penting karena perkembangan hukum agararia kedepan tidak akan terlepas dari proses dan pergelutan yang melatarbelakangi lahirnya hukum agraria ini. Lebih lanjut kenapa pendekatan sejarah hukum ini diperlukan adalah disebabkan beberapa alasan sebagai berikut :
1.      Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan juga dalam lintasan kala dan waktu. Hal ini berlaku bagi sumber-sumber hukum formil, yakni bentuk-bentuk penampakan diri norma-norma hukum, maupun isi norma-norma hukum itu sendiri (sumber-sumber hukum materil).
2.      Norma-norma hukum dewasa ini seringkali hanya dapat dimengerti melalui sejarah hukum. Henri De Page penulis sebuah karya penting perihal Traite Elementaire de Droit Civil yang diterbitkan pada tahun-tahun 1930-1950, mengemukakan bahwa semakin ia memperdalam studi hukum perdata, semakin ia berkeyakinan bahwa sejarah hukum, lebih dahulu daripada logika dan ajaran hukum sendiri mampu menjelaskan mengapa dan bagaimana lembaga-lembaga hukum kita mucul ke permukaan seperti keberadaannya sekarang ini.
3.      Sedikit banyak mempunyai pengertian mengenai sejarah hukum, pada hakikatnya merupakan suatu pegangan penting bagi para yuris pemula untuk mengenal budaya dan pranata umum.
4.      Hal ikhwal yang teramat penting di sini adalah perlindungan hak asasi manusia terhadap perbuatan semena-mena, bahwa hukum diletakkan dalam perkembangan sejarahnya serta diakui sepenuhnya sebagai suatu gejala historis.

Dari berbagai alasan kenapa pentingnya suatu kajian sejarah hukum, maka penulis menganggap perlu untuk melakukan kajian terhadap sejarah hukum agraria Indonesia. Dengan demikian setidaknya dapat dilihat gambaran tentang hukum agrraria Indonesia sebagai suatu gejala yang tidak terlepas dari proses masa lalu.
Dari uraian di atas, panulis menuangkan kajian tentang sejarah hukum ini dalam makalah sederhana dengan judul “pembentukan UUPA dan hukum tanah di Indonesia”
B.            Identifikasi Masalah.
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka masalah yang dikaji dalam makalah ini adalah : 
1.      Bagaimana proses sejarah hukum agararia Indonesia sampai dengan terbentuknya UUPA 1960 ?
2.       Bagaimana perkembangan hukum agararia Indonesia dalam konteks kekinian ?
C.           Tujuan dan Kegunaan Penelitian.
1.             Tujuan Penelitian.
Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk :
a.       Mengetahui proses sejarah dalam lintasan waktu dan kala dalam bidang sejarah hukum Indonesia.
b.      Mengetahui dan memahami perkembangan yang dialami hukum agraria Indonesia sampai dengan saat sekarang ini.
D.           Kegunaan Penelitian.
a.       Secara Teoritis; makalah ini diaharapkan berguna untuk memperkaya litretaur kasanah kajian hukum agraria Indonesia guna kemajuan ilmu pengetahuan hukum khususnya di bidang hukum agararia Indonesia;
b.      Secara Praktis; makalah ini dapt berguna sebagai sumber kajian berikutnya dalam bidang hukum ke-agraria-an Indonesia.


BAB II
PENGERTIAN DAN LINGKUP HUKUM AGRARIA

A.           PENGERTIAN HUKUM AGRARIA.
Beberapa pakar hukum memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan hukum agraria, antara lain beberapa disebutkan di bawah ini.
Subekti dan Tjitro Subono, hukum agraria adalah keseluruhan ketentuan yang hukum perdata, tata negara, tata usaha negara, yang mengatur hubungan antara orang dan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara, dan mengatur pula wewenang yang bersumber pada huungan tersebut
Prof. E. Utrecht, S.H. menyatakan bahwa hukum agraria adalah menjadai bagian dari hukum tata usaha negaram karena mengkaji hubungan-hubungan hukum antara orang, bumi, air dan ruang angkasa yang meliatakan pejabat yang bertugas mengurus masalah agraria.
Daripada itu, sesuai dnegan Pasal 2 ayat (1) UUPA, maka sasaran Hukum Agraria meliputi : bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagaimana lazimnya disebut sumber daya alam. Oleh karenanya pengertian hukum agraria menurut UUPA memiliki pengertian hukum agraria dalam arti luas, yang merupakan suatu kelompok berbagai hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam yang meliputi :
1.             Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah  dalam arti permukaan bumi;
2.             Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;
3.              Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh undang-undang pokok pertambangan;
4.              Hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air;
5.              Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan atas hutan dan hasil hutan;
6.              Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan space law), mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.
Sedangkan pengertian hukum agraria dalam arti sempit, hanya mencakup Hukum Pertanahan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah.
Yang dimaksud tanah di sini adalah sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUPA, adalah permukaan tanah, yang dalam penggunaannya menurut Pasal 4 ayat (2), meliputi tubuh bumi, air dan ruang angkasa, yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunan tanah itu dalam batas menurut UUPA, dan peraturan-perturan hukum lain yang lebih tinggi.
Dimulai pada tahun 1960, pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa peraturan perundang-undangan dibidang Agraria yang dibuat oleh penjajah, baik Belanda maupun Inggris sangat tidak berpihak kepada rakyat Indonesia. Perhatian pemerintah terhadap pengaturan mengenai Agraria dimulai sejak tahun 1948 dengan dibentuknya panitia Agraria. Setelah 15 tahun indonesia merdeka barulah lahir undang undang no.5 tahun 1960 tentang peeraturan dasar pokok pokok agraria. Kelahiran undang undang no.5 tahun 1960 melalui suatu proses yang panjang, yaitu dimulai panitia yogyakarta (1948), panitia jakarta (1951), panitia soewahjo (1956), rancangan soenario (1958), dan akirnya rancangan soejarwo (1960).
B.            SEJARAH PEBENTUKAN UUPA.
Perjalaanan panjang dalam uapaya perancangan UUPA dilakukakan oleh Lima Panitia rancangan, yaitu Panitia Agraria Yogyakarta, Panitia Agraria Jakarta, Panitia Rancangan Soewahjo, Panitia Rancangan Soenarjo, dan Rancangan Sadjarwo.
1.      Panitia Rancangan Yogyakarta.
a.      Dasar Hukum.
Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden Nomor : 16 Tahun 1948 tanggal 21 Mei 1948, berkedudukan di Yogyakarta diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo, Kepala Bagian Agraria Kementerian Agraria. Panitia ini bertugas anatara lain :
1)      Memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal mengenai hukum tanah pada umumnya;
2)       Merencanakan dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agararia Republik Indonesia;
3)       Merencanakan peralihan, penggantian, pencabutan peraturan-peraturan lama tentang tanah yang tidak sesuai lagi dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka;
4)       Menyelidiki soal-soal lain yang  berkenaan dengan hukum tanah.

b.        Asas-asas yang Menjadai Dasar Hukum Agraria Indonesia.
Panitia ini mengusulkan tentang asas-asas yang akan merupakan dasar-dasar Hukum Agraria yang baru, yaitu :
1)      Meniadakan asas domein dan pengakuan adanya hak ulayat;
2)      Mengadakan peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang dapat dibebani hak tanggungan;
3)      Mengadakan penyelidikan terutama di negara tetangga tentang kemungkinan pemberian hak milik atas tanah kepaa orang asing;
4)       Perlu diadakan penetapan luas minimum pemilikan tanah bagi apra petani kecil untuk dapat hidup layak untuk Jawa 2 hektar;
5)       Perlu adanya penetapan luas maksimum pemilikan tanah yang siusulkan untuk pulau Jawa 10 hektar, tanpa memandang macamnya tanah, sedang di luar Jawa masih diperlukan penelitian lebih lanjut;
6)       Perlu diadkan regidsrasi tanah milik dan hak-hak lainnya.
c.           Keanggotaan Panitia.
Panitia Yogyakarta beranggotakan sebagai berikut :
1)      Para pejabat dari berbagai kementrian dan jawatan;
2)      Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Pusat;
3)      Para ahli hukum, wakil-wakil daerah dan ahli adat;
4)      Wakil dari dari sarikat buruh perkebunan;

2.      Panitia Jakarta.
a.      Dasar Hukum.
Panitia Yogyakarta dibubarkan dengan Keputusan Presiden Nomor : 3 6 Tahun 1951 tanggal 19 Maret 1951, sekaligus dubentuk Panitia Agraria Jakarta yang  berkedudukan di Jakarta.

b.            Keanggotaan.
Panitia Jakarta beranggotakan :
1)      Ketua : Sarimin Reksodihardjo, kemudian pada tahun 1953 diganti      oleh Singgih Praptodihardjo (Wakil Kepala Bagian Agraria      Kementrian Agararia);
2)      Pejabat-pejabat kementrian;
3)      Pejabat-pejabt jawatan; dan
4)      Wakil-wakil organisasi tani.

c.       Usulan kepada pemerintah.
Dalam laporannya panitia ini mengusulkan beberapa hal dalam hal tanah pertanian, sebagai berikut :
1)      Mengadakan batas minimum pemilikan tanah, yaitu 2 hektar dengna mengadakan peninjauan lebih lanjut sehubungan dengan berlakunya hukum adat dan hukum waris;
2)       Mengadakan ketentuan batas maksimum pemilikan tanah, hak usaha, hak sewa, dan hak pakai;
3)       Pertanian rakyat hanya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan tidak dibedakan antara warga negara asli dan bukan asli. Badan hukum tidak dapat mengerjakan tanah rakyat;
4)       Bagunan hukum untuk pertanian rakyat ialah hakl milik, hak usaha, hak sewa, dan hak pakai;
5)       Pengeturan hak ulayat sesuai dengan pokok-pokok dasar negara dengan suatu undang-undang.

3.      Panitia Soewahjo.
a.      Dasar Hukum.
Guna mempercepat proses pembentukan undang-undang agraria nasional, maka dengan Keputusan Presiden RI tertanggal 14 Januari 1956 Nomor :  1 Tahun 1956, berkedudukan di Jakarta, diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo, Sekretaris Jenderal Kementrian Agraria. Tugas utama panitia ini adalah mepersiapkan rencana undang-undang pokok agararia yang nasional, sedapat-dapatnya dalam waktu satu tahun.

b.      Rancangan Undang-undang.
Panitia ini berhasil menyusun naskah Rancangan Undang-undang Pokok Agraria pada tanggal 1 Januari 1957 yang pada berisi :
1)      dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat, yang harus ditundukkan pada kepentingan mum (negara);
2)       Asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara atas dasar ketentuan Pasal 38 ayat (3) UUDS 1950;
3)       Dualisme hukum agraria dihapuskan. Secara sadar diadakan kesatuan hukum yang akan memuata lembaga-lembga dan unsur-unsur yang baik, baik yang terdapat dalam hukum adat maupun hukum barat;
4)       Hak-hak atas tanah : hak milik sebagai hak yang terkuat yang berfungsi sosial kemudian ada hak usaha, hak bangunan dan hak pakai;
5)       Hak milik hanya boleh dipunyai oleh warga negara Indonesia yang tidak diadakan pembedaan antara waraga negara asli dan tidak asli. Badan-badan hukum pada asasnya tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah;
6)       Perlu diadakan penetapan batan maksimum dan minimum luas tanah yang boleh menjadi milik seseorang atau badan hukum;
7)        Tanah pertanian pada asasnya perlu dikerjakan dan diushakan sendiri oleh pemiliknya;
Description: 8)       
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor : 97 Tahun 1958 tanggal 6 Mei 1958 Panitia Negara Urusan Agraria (Panitia Soewahjo) dibubarkan.

4.      Rancangan Soenarjo.
Setelah diadakan perubahan sistematika dan rumusan beberapa pasal, Rancangan Panitia Soewahjo diajukan oleh Menteri Soenarjo ek Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk membahas rancangan tersebut, DPR perlu mengumpulkan bahan yang lebih lengkap dengan meminta kepada Universitas Gadjah Mada, selanjutnya membentuk panitia ad hoc yang terdiri dari :
Ketua merangkap anggota                    : A.M. Tambunan
Wakil Ketua merangkap anggota          : Mr. Memet Tanumidjaja
Anggota-anggota                                  : Notosoekardjo
                                                              Dr. Sahar glr Sutan Besar
                                                              K.H. Muslich
                                                              Soepeno
                                                              Hadisiwojo
                                                              I.J. Kasimo
Selain dari Universitas Gadjah Mada bahan-bahan juga diperoleh dari Mahkamah Agung RI yang diketuai oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro.

5.      Rancangan Sadjarwo.
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diberlakukan kembali UUD 1945. Karena rancangan Soenarjo disusun berdasarkan UUDS 1950, maka pada tanggal 23 Maret 1960 rancangan tersebut ditarik kembali. Dalam rangka menyesuaikan rancangan UUPA dengan UUD 1945, perlu diminta saran dari Universitas Gadjah Mada. Untuk itu, pada tanggal 29 Desember 1959, Menteri Mr. Sadjarwo beserta stafnya Singgih Praptodihardjo, Mr, Boedi Harsono, Mr. Soemitro pergi ke Yogyakarta untuk berbicara dengna pihak Universitas Gadjah Mada yang diwakili oleh Prof. Mr. Drs. Notonagoro dan Drs. Imam Sutigyo.
 Setelah selesai penyusunannya, maka rancangan UUPA diajukan kepada DPRGR. Pada hari Sabtu tanggal 24 September 1960 rancanan UUPA sisetujui oleh DPRGR dan kemudian disahkan oleh Presiden RI menjadi Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lazim disebut Undang-undang Pokok Agraria disingkat UUPA.

C.           UUPA Sebagai Hukum Agraria Nasional.
1.      Sifat Nasional UUPA.
UUPA mempunyai dua substansi dari segi berlakunya, yaitu pertama, tidak memberlakukan lagi atau mencabut hukum agraria kolonial, dan kedua, membangun hukum agraria nasional. Menurut Boedi Harsono, dengan berlakunya UUP, maka terjadilah perubahan yang fundamental pada hukum agraria di Indonesia, terutama hukum di bidang pertanhan. Perubahan yang fundamental ini mengenai struktur perangkat hukum, konsepsi yang mendasari maupun isinya.
UUPA juga merupakan undang-undang yang melakukan pembaruan agraria karena di dalamnya memuata program yang dikenal dengan Panca Program Agraria Reform Indonesia, yang meliputi :
1)      Pembaharuan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasioanl dan pemberian jaminan kepastian hukum;
2)      Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
3)      Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
4)       Perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubungan-hubungan hukum yangberhubungan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan, yang kemudian dikenal dengan program landreform;
5)      Perncanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaan secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.

Sebagai undang-undang nasional, UUPA memiliki sifat nasional material dan formal. Sifat nasional material berkenaan dengan substansi UUPA. Sedangkan nasional formal berkenaan dengan pembentukan UUPA.

2.      Peraturan Lama yang Dicabut oleh UUPA.
Dengan dindangkannya Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960, maka dengan demikian Indonesia memiliki hukum agraria baru yang bersifat nasional yan tentunya lepas dari sifat-sifat kolonial dan disesuaikan dengan pribadi dan jiwa bangsa Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat.

D.           HUKUM TANAH.
Dalam pengertian konteks agraria, tanah berarti permukaan bumi paling luar berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah di sini buakan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya saja yaitu aspek yuridisnya yang disebut dengan hak-hak penguasaan atas tanah.
Dalam hukum, tanah merupakan sesuatu yang nyata yaitu berupa permukaan fisik bumi serta apa yang ada di atasnya buatan manusia yang disebut fixtures. Walaupun demikian perhatian utamanya adalah bukan tanahnya itu, melainkan kepada aspek kepemilikan dan penguasaan tanah serta perkembangannya. Objek perhatiannya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan dikuasai dalam berbagai bentuk hak penguasaan atas tanah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam artu yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah hak atas sebagiaan tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk mempergunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Atas ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepda pemegang hak atas tanah diberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang di atasnya sekedar diperlukan untuk  kepentingan langsung yang berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Hirarki hak-hak atas penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional adalah :
1.      Hak bangsa Indonesia atas tanah;
2.       Hak menguasai negara atas tanah;
3.       Hak ulayat masyarakat hukum adat;
4.      Hak-hak perseorangan, meliputi :
a.       Hak-hak atas tanah,
b.      Wakaf tanah hak milik;
c.       Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan);
d.      Hak milik atas satuan rumah susun.
Hukum tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum konkrit, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan suatu sistem.
Objek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah yang dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1.       Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum;
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang hak.
2.             Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkrit;
Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan hak tertentu sebagai obyeknya dan atau orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek pemegang haknya.

Dalam kaitannya dengan hubungan hukum antara pemegang  hak dengan hak atas tanahnya, ada 2 (dua) macam asas dalam dalam hukum tanah, yaitu : asas pemisahan horisontal dan asas pelekatan vertikal.
Asas pemisahan horisontal yaitu suatu asas yang mendasrkan pemilikan tanah dengan memisahakan tanah dari segala benda yang melekat pada tanah tersebut. Sedangkan asas pelekatan vertikal yaitu asas yang mendasrkan pemilikan tanah san segala benda yang melekat padanya sebagai suatu kesatuan yang tertancap menjadi satu.
Asas pemisahan horisontal merupakan alas atau dasar yang merupakan latar belakang peraturan yang konkrit yang berlaku dalam bidang hukum pertanahan dalam pengaturan hukum adat dan asas ini juga dianut oleh UUPA. Sedangkan asas pelekatan vertikal merupakan alas atau dasar pemikiran yang melandasi hukum pertanahan dalam pengaturan KUHPerdata.
Dalam bukunya, Djuhaendah Hasan mengemukakan bahwa sejak berlakunya KUHPerdata kedua asas ini diterapkan secara berdampingan sesuai dengan tata hukum yang berlaku dewasa itu (masih dualistis) pada masa sebelum adanya kesatuan hukum dalam hukum pertanahan yaitu sebelum UUPA. Sejak berlakunya UUPA, maka ketentuan Buku II KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan di dalamnya telah dicabut, kecuali tentang hipotik. Dengan demikian pengaturan tentang hukum tanah dewasa ini telah merupakan satu kesatuan hukum (unifikasi hukum) yaitu hanya ada satu hukum tanah saja yang berlaku yaitu yang diatur dalam UUPA dan berasaskan hukum adat (lihat Pasal 5 UUPA).


BAB III
PENUTUP


A.           KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, Hukum Agraria berdasarkan pada Hukum Perdata Barat yang berlaku sebelum tanggal 24 September 1960, tersusun dari sumber yang berasal dari pemerintah jajahan, sehingga tidak mustahil  bahwa di dalamnya terselubung tujuan pemerintahan jajahan yang hanya menguntungkan pihaknya. Keadaan semacam ini berakibat bahwa beberapa ketentuan hukum Agraria yang berlaku pada waktu itu menjadi bertentangan dengan kepentingan rakyat Indonesia.
Perkembangan disusun dengan dasar  Hukum Adat , sehingga  hukum Agraria Adat mempunyai peran penting dalam sejarah lahirnya UUPA. Dengan berlakunya UUPA tidak berarti bahwa  hak ulayat tidak diakui  lagi. Hak ulayat tersebut masih diakui sejauh tidak mengganggu atau menghambat pembangunan nasional untuk kepentingan umum.
Salah satu konsep penting juga didalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah Hak Menguasai Negara dan fungsi sosial hak atas tanah. Bahwa selain mengkonsep perintah Pasal 33 ayat 3 UUD 45, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) juga mengeksplorasi fungsi sosial yang secara umum

B.            SARAN
Ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok Agraria sudah jelas terpapar di atas, oleh sebab itu seluruh rakyat harus tunduk dan taat supaya tidak ada lagi sengketa-sengketa mengenai tanah karena sudah tercantum kepastian hak kewajiban dan kepastian hukum atas tanah.
  
DAFTAR PUSTAKA
Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filasafat Hukum : Mazhab dan Refleksinya, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.
 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan & Problema Keadilan (susunan II), Raja Grafindo Persada, Jakarta
 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999
Suardi, Hukum Agraria, BP Iblam, Jakarta, 2005.
 Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, Edisi Pertama Cet. Ke-2 2005.
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda-benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya, Bandung, 1996.
 Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, Edisi Pertama, Cet. Ke-2, 2005.
 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi, Cet. Ke-8, 1999.


 


PEMBENTUKAN UUPA DAN PERKEMBANGAN HUKUM
TANAH DI INDONESIA
Di
S
U
S
U
N
OLEH :






FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JABAL GHAFUR
GLE GAPUI-SIGLI
2016

1 comment:

  1. Lagi bokek tapi mau bermain slot?
    Klik ====>Demo red tiger

    Ayo Segera Daftar Akun Bermain Anda..Gratiss..

    Klik >>>>>>> Daftar slot

    Hubungi Segera:
    WA: 087785425244
    Cs 24 Jam

    ReplyDelete