BAB I
PENDAHULUAN
Dalam tulisannya, ‘Pengantar dalam
Kesehatan Jiwa’ (1982), Saparinah Sadli, guru besar Fakultas Psikologi UI
mengemukakan tiga orientasi yang dapat dijadikan ukuran kesehatan jiwa, yakni :
1) Orientasi Klasik: Seseorang dianggap sehat bila ia tak mempunyai keluhan
tertentu, seperti: ketegangan, rasa lelah, cemas, rendah diri atau perasaan
tidak berguna, yang semuanya menimbulkan perasaan ‘sakit’ atau ‘rasa tidak
sehat’ serta mengganggu efisiensi kegiatan sehari-hari. Orientasi ini banyak
dianut di dunia kedokteran; 2) Orientasi Penyesuaian Diri: Seseorang dianggap
sehat secara psikologis bila ia mampu mengembangkan dirinya sesuai dengan
tuntunan orang-orang lain serta lingkungan sekitarnya; 3) Orientasi
Pengembangan Potensi: Seseorang dianggap mencapai taraf kesehatan jiwa, bila ia
mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensialitasnya menuju kedewasaan
sehingga ia bisa dihargai oleh orang lain dan dirinya sendiri.
Terdapat empat rumusan kesehatan
jiwa yang lazim dianut para ahli : 1)Kesehatan mental adalah terhindarnya orang
dari gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa
(psichose); 2)Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tenpat ia
hidup; 3)Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh
antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi
problema-problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan
pertentangan batin (konflik); 4)Kesehatan adalah pengetahuan dan perbuatan yang
bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan
yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kebahagiaan diri dan orang lain,
serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa; 5)Kesehatan mental adalah
terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan
terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya,
berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang
bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kesehatan Mental
Istilah Kesehatan Mental diambil
dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari bahasa Yunani yang berarti
Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna dengan kata Psyhe yang berasal
dari bahasa latin yang berarti Psikis atau Jiwa, jadi dapat diambil kesimpulan
bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan mental.
Kesehatan mental adalah terhindarnya
seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis
(penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial) (Mujib dan Mudzakir, 2001, 2003).
Zakiah Daradjat (1985:10-14) mendefinisikan kesehatan mental dengan beberapa
pengertian:
- Terhindarnya
orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala
penyakit jiwa (psychose).
- Kemampuan
untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan
masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup.
- Pengetahuan
dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala
potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa
kebahagiaan pada diri dan orang lain; serta terhindar dari
gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.
- Terwujudnya
keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta
mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi,
dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.
Seseorang dapat dikatakan sehat
tidak cukup hanya dilihat dari segi fisik, psikologis, dan sosial saja, tetapi
juga perlu dilihat dari segi spiritual atau agama. Inilah kemudian yang disebut
Dadang Hawari sebagai empat dimensi sehat itu, yaitu:
bio-psiko-sosial-spiritual. Jadi seseorang yang sehat mentalnya tidak cukup
hanya terbatas pada pengertian terhindarnya dia dari gangguan dan penyakit jiwa
baik neurosis maupun psikosis, melainkan patut pula dilihat sejauhmana
seseorang itu mampu menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan lingkungannya,
mampu mengharmoniskan fungsi-fungsi jiwanya, sanggup mengatasi problema hidup
termasuk kegelisahan dan konflik batin yang ada, serta sanggup
mengaktualisasikan potensi dirinya untuk mencapai kebahagiaan.
Mental yang sehat tidak akan mudah
terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres) orang yang memiliki mental
sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya
sendiri dan lingkungannya. (Noto Soedirdjo, 1980) menyatakan bahwa ciri-ciri
orang yang memilki kesehatan mental adalah memilki kemampuan diri untuk bertahan
dari tekanan-tekanan yang datang dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen
Karentanan (Susceptibility) Keberadaan seseorang terhadap stressor berbeda-beda
karena faktor genetic, proses belajar dan budaya yang ada dilingkungannya, juga
intensitas stressor yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga
berbeda.
Atkinson menentukan kesehatan mental
dengan kondisi normalitas kejiwaan, yaitu kondisi kesejahteraan emosional
kejiwaan seseorang. Pengertian ini diasumsikan bahwa pada prinsipnya manusia itu
dilahirkan dalam kondisi sehat. Atkinson lebih lanjut menyebutkan enam
indikator normalitas kejiwaan seseorang.
1.
Pertama, persepsi realita yang efisien.
Individu cukup realistik dalam menilai kemampuannya dan dalam menginterpretasi
terhadap dunia sekitarnya. Ia tidak terus menerus berpikir negatif terhadap
orang lain, serta tidak berkelebihan dalam memuja diri sendiri.
2.
Kedua, mengenali diri sendiri. Individu
yang dapat menyesuaikan diri adalah individu yang memiliki kesadaran akan motif
dan perasaannya sendiri, meskipun tak seorang pun yang benar-benar menyadari
perilaku dan perasaannya sendiri.
3.
Ketiga, kemampuan untuk mengendalikan
perilaku secara sadar. Individu yang normal memiliki kepercayaan yang kuat akan
kemampuannya, sehingga ia mampu mengendalikannya. Kondisi seperti itu tidak
berarti menunjukkan bahwa individu tersebut bebas dari segala tindakan impulsif
dan primitif, melainkan jika ia melakukannya maka ia menyadari dan berusaha
menekan dorongan sek-sual dan agresifnya.
4.
Keempat, harga diri dan penerimaan.
Penyesuaian diri seseorang sangat ditentukan oleh penilaian terhadap harga diri
sendiri dan merasa diterima oleh orang di sekitarnya. Ia merasa nyaman bersama
orang lain dan mampu beradaptasi atau mereaksi secara spontan dalam segala situasi
sosial.
5.
Kelima, kemampuan untuk membentuk ikatan
kasih. Individu yang normal dapat membentuk jalinan kasih yang erat serta mampu
memuaskan orang lain. Ia peka terhadap perasaan orang lain dan tidak menuntut
yang berlebihan kepada orang lain. Sebaliknya, individu yang abnormal terlalu
mengurusi perlindungan diri sendiri (self-centered).
6.
Keenam, produktivitas. Individu yang baik adalah
individu yang menyadari kemampuannya dan dapat diarahkan pada aktivitas
produktif.
C. Metode Pemerolehan dan Pemeliharaan
Terdapat tiga pola yang
mengungkapkan metode pemerolehan dan pemeliharaan kesehatan mental dalam
perspektif Islam: Pertama, metode tahali, takhalli, dan tajalli; Kedua, metode
syariah, thariqah, haqiqah dan ma’rifat; dan ketiga, metode iman, Islam dan
ihsan. Sebuah hadits menunjukkan tiga metode yang mengungkapkan metode
pemerolehan dan pemeliharaan kesehatan mental yaitu: 1) metode iman yang
berkaitan dengan prinsip-prinsip kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan dan
kepada hal-hal yang gaib; 2) metode Islam yang berkaitan dengan prinsip-prinsip
ibadah dan muamalah; 3) metode ihsan yang berkaitan dengan prinsp-prinsip moral
atau etika.
1. Metode Imaniah
Iman secara harfiah diartikan dengan
rasa aman (al-aman) dan kepercayaan (al-amanah). Orang yang beriman berarti
jiwanya merasa tenang dan sikapnya penuh keyakinan dalam menghadapi semua
masalah hidup. Dalam mengatur alam dan isinya, Allah SWT memberikan rambu-rambu
petunjuk (hidayah)-Nya untuk kelangsungan dan keselamatan hidup di dunia dan
akhirat. Petunjuk yang dimaksud diturunkan melalui dua jalur: Pertama, jalur
tertulis yang termaktub dalam kitab suci Al-Quran dengan pemberian petunjuk inu
dengan mengutus Rasul dan Malaikat-Nya. Jalur ini lazim disebut jalur
Quraniyah; Kedua, jalur tidak tertulis yang berkaitan dengan alam dan isinya
yang disebut dengan jalur kauniyah atau sunnatulah.
Keimanan yang direalisasikan secara
benar akan membentuk kepribadian mukmin yang membentuk 6 karakter yaitu:
- Karakter
Rabbani, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan (mengambil dan
mengamalkan) sifat-sifat dan asma-asma Allah ke dalam tingkah laku nyata
sebatas pada kemampuan manusiawinya. Proses pembentukan kepribadiannya
ditempuh melalui tiga tahap yaitu ta’alluq, takballuq, dan tabaqquq .
Proses ta’alluq adalah menggantungkan kesadaran diri dan pikiran kepada
Allah dengan cara berpikir dan berzikir kepadaNya (QS. Ali-Imran:191).
Proses takballuq adalah adanya kesadaran untuk menginternalisasikan
sifat-sifat dan asma-asma Allah ke dalam tingkah laku nyata sebatas pada
kemampuan manusiawinya. Proses ini dlakukan karena adanya fitrah menusia
yang memiliki potensi asma’ al-husna. Proses tabaqquq adalah kesadaran
diri akan adanya kebenaran, kemuliaan, keagungan Allah SWT sehingga tingka
lakunya didominasi olehNya.
- Karakter
Maliki, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan sifat-sifat
Malaikat yang agung dan mulia. Kepribadian maliki diantaranya menjalankan
perintahNya dan tidak berbuat maksiat (QS. Al-Tahrim: 6), bertasbih
kepadaNya (QS. Al-Zumar: 75), menyampaikan informasi kepada yang lain (QS.
Al-Nahl: 102), membagi-bagikan rizki untuk kesejahteraan berama dan
memelihara kebun (Jannat) yang indah (QS. Ar-Ra’d: 24).
- Karakter
Qurani, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan nilai-nilai Qurani
dalam tingkah laku nyata. Karakter kepribadian Qurani seperti membaca,
memahami dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalam Al-Quran dan
Sunnah.
- Karakter
Rasuli, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan sifat-sifat Rasul
yang mulia. Karakter kepribadian Rasuli diantaranya jujur (al-Siddiq),
dapat dipercaya (al-Amanah), menyampaikan informai atau wahyu (al-Tabligh)
dan cerdas (al-Fathonah).
- Karakter
yang berwawasan dan mementingkan masa depan (hari akhir) yang menghendaki
adanya karakter yang mementingkan jangka panjang daripada jangka pendek
atau wawasan masa depan daripada masa kini (QS. al-Dhuha: 4), bertanggung
jawab (QS. al-Nisaa’: 77).
- Karakter
Takdiri, yaitu karakter yang menghendaki adanya penyerahan dan kepatuhan
pada hukum-hukum, aturan-aturan dan sunnah-sunnah Allah SWT untuk
kemaslahatan hidupnya.
2. Metode Islamiah
Islam secara etimologi memilik tiga
makna yakni penyerahan dan ketundukan (al-silm), perdamaian dan keamanan
(al-salm), dan keselamatan (al-salamah) . Realisasi metode Islam dapat membentuk
kepribadian muslim yang mendorong seseorang untuk hidup bersih, suci dan dapat
menyesuaikan dengan segala kondisi yang merupakan syarat terciptanya kesehatan
mental. Kepribadian muslim membentuk lima karakter ideal.
- Karakter
syabadatain yaitu karakter yang mampu menghilangkan dan membebaskan diri
dari segala belenggu atau dominasi tuhan-tuhan temporal dan relatif
seperti materi dan hawa nafsu (QS. Al-Furqon: 43). Lalu mengisi diri
sepenuh hati hanya kepada Allah SWT.
- Karakter
mushailli yaitu karakter yang mampu berkomunikasi dengan Allah dan dengan
sesama manusia. Komunikasi ilahiah ditandai dengan takbir,sedangkan
kominukasi ihsaniah ditandai dengan salam. Karakter mushailli juga
menghendaki adanya kebersihan dan kesucian lahir dan batin dengan berwudhu
(kesucian lahir) dan dalam kesucian batin diwujudkan dalam bentuk
keikhlasan dan kekhusyu’an.
- Karakter
muzakki, yaitu karakter yang berani mengorbankan hartanya untuk kebersihan
dan kesucian jiwanya (QS. al-Taubah: 103), serta pemerataan kesejahteraan
ummat pada umumnya.
- Karakter
sha’im yaitu karakter yang mampu mengendalikan dan menahan diri dari
nafsu-nafsu rendah. Dan apabila dirinya terbebas dari nafsu-nafsu rendah
maka ia berusaha mengisi diri dengan tingkah laku yang baik.
- Karakter
hajji yaitu karakter yang mampu mengorbankan harta, waktu, bahkan nyawa
demi memenuhi panggilan Allah SWT.
3. Metode Ihsaniah
Ihsan secara bahasa berarti baik.
Orang yang baik (Muhsin) adalah orang yang mengetahui hal-hal yang baik,
mengaplikasikan dengan prosedur yang baik dan dlakukan dengan niatan yang baik.
Metode ini bila dilakukan dengan benar maka memberikan kepribadian muhsin yang
ditempuh dalam beberapa tahapan , yaitu:
a. Tahapan
permulaan (al-bidayah)
Pada tahap
ini, seseorang akan rindu pada khaliknya. Ia sadar dalamkerinduan itu terdapat
tabir (al-hijab) yang menghalangi hubungannya sehingga ia berusaha
menghilangkan tabir tersebut. Tahapan ini disebut takhalli yaitu mengosongkan
diri dari segalasifat kotor, maksiat dan tercela.
b. Tahapan
kesungguhan dalam menempuh kebaikan (al-mujabadat)
Tahapan ini kepribadian seseorang
telah bersih dari sifat-sifat tercela dan maksiat lalu berusaha secara
sungguh-sungguh untuk mengisi diri dengan tingkah laku yang baik yang disebut
dengan tahapan tahailli. Tahailli adalah upaya mengisi diri dengan sifat-sifat
yang baik yang terdiri dari beberapa fase yaitu: 1) taubat dari segala tngkah
laku yang mengandung dosa; 2) menjaga diri dari hal-hal yang subhat (al-wara’);
3) tidak terikat oleh gemerlapan materi; 4) merasa butuh pada Allah (al-faqr);
5) sabar terhadap cobaan dan melaksanakan kebajikan; 6) tawakkal pada putusan
Allah; 7) ridha terhadap pemberian Allah; 8) merasa bersyukur atas nikmay yang
Allah berikan; 9) ikhlas melakukan apa saja demi Allah; 10) takut (al-khauf) dan
berharap (al-raja) terhadap Allah; 11) kontinue dalam melakukan kewajiban
(al-istiqomah); 12) takwa kepada Allah; 13) jujur, berpikir, berzikir dan
sebagainya.
Tahapan ini harus ditopang tujuh pendidikan dan
latihan psikofisik yaitu:
•
Musyarathah, yaitu memberikan dan menemukan syarat
bagi diri sendiri.
•
Muraqabah, yaitu mawas diri dari perbuatan maksiat
agar selalu dekat kepada Allah.
•
Muhasabah, yaitu membuat perhitungan terhadap tingkah
laku yang diperbuat.
•
Mu’aqabah, yaitu menghukum diri sendiri karena melakukan
keburukan.
•
Mujahadah, yaitu bersungguh-sungguh berusaha menjadi
baik.
•
Mu’atabah, yaitu menyesali diri atas perbuatan
dosanya.
•
Mukasyafah, yaitumembuka penghalang atau tabir agar
tersingkap semua rahasia Allah.
c. Tahapan
merasakan (al-Muziqat)
Pada tahapan ini seorang hamba tidak
sekedar menjalankan perintah Khalik-nya dan menjauhi larangannya, namun ia
merasakan kedekatan, kelezatan, kerinduan denganNya. Tahapan ini disebut
tajalli, yaitu menempakkan sifat-sifat Allah pada diri manusianya setelah sifat-sifat
buruknya dihilangkan dan tabir menjadi sirna. Oleh sufi tahapan ini biasa
dilalui dalam dua proses yaitu al-fana dan al-baqa. Bila seseorang mampu
menghilangkan wujud jasmaniah dengan menghilangkan nafsu-nafsu impulsifnya dan
tidak terikat oleh materi atau lingkungan sekitar, makaia telah al-fana.
Kondisi itu lalu beralih pada ke-baqa-an wujud ruhani yang ditandai dengan
tetapnya sifat-sifat ketuhanan . Ketika tahapan itu telah dilalui maka muncul
apa yang disebut al-baal yaitu kondisi spiritual dimana sang pribadi telah
mencapai kebahagiaan tertinggi yang dicita-citakan.
F. Tanda-Tanda Kesehatan Mental dalam Islam
Tanda-tanda kesehatan mental,
menurut Muhammad Mahmud Mahmud, terdapat sembilan macam, yaitu: pertama,
kemapanan (al-sakinah), ketenangan (al-thuma’ninah), dan rileks (al-rahah)
batin dalam menjalankan kewajiban, baik kewajiban terhadap dirinya, masyarakat,
maupun Tuhan.
Kata “sakinah” dalam kajian semantik
bahasa Arab berasal dari kata sakana yang berarti makan (tempat), maskin yang
berarti manzil atau bayt (tempat tinggal atau rumah), sukn yang berarti ahl aw
‘iyal al-dar (penduduk desa atau negara). Dari pengertian semantik
ini, kata “sakinah” memiliki arti kemapanan disebabkan memiliki tempat tinggal
atau wilayah yang menetap dan tidak berpindah-pindah. Terminologi “sakinah”
juga memilikii arti (1) al-wada’ah. Al-waqarah, al-thuma’ninah yang berarti
ketenangan; (2) al-rahmah yang berarti kasih sayang. Atau dalam bahasa
Inggris berarti calmness (ketenangan), quietness (keamanan), peacefulness
(perdamaian), dan serenity (ketenteraman).
Al-Zuhaili dalam tafsirnya memberi
arti “sakinah” dengan ketetapan atau ketenangan (al-tsabat dan al-thuma’ninah)
jiwa dari segala kecemasan (al-qalaq/anxiety) dan kesulitan atau
kesempitan batin (al-Idtirar). Sakinah juga memiliki arti meninggalkan
permusuhan atau peperangan, rasa aman (al-aman), hilangnya ketakutan
(al-khwf/phobia) dan kesedihan dari jiwa. Ibnu Qayyim memberi arti
sakinah dengan ketenangan yang dihujamkan oleh Allah SWT. Pada jiwa orang-orang
mukmin yang takut, resah dan gelisah, agar keimanan dan keyakinannya
bertambah.
Pengertian “ketenangan” di dalam
istilah sakinah tidak berarti statis atau tidak bergerak, sebab dalam “sakinah”
terdapat aktivitas yang disertai dengan perasaan tenang, seperti orang yang
melakukan kerja dengan disertai rasa ketenangan. Apabila istilah sakinah
memiliki arti statis dan tidak bergerak bararti jiwa manusia tidak akan
berkembang, yang hal itu menyalahi hukum-hukum perkembangan.
Firman Allah
SWT:
’Dia-lah yang
telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu'min supaya keimanan
mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan
Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,’ (QS. Al-Fath: 4).
|
Kata thuma’ninah hampir memiliki
makna yang sama dengan sakinah, yaitu ketetapan kalbu pada sesuatu tanpa
disertai kekacauan. Menurut sabda Nabi; “kebaikan itu adalah sesuatu yang
menenangkan di dalam hati” dan dalam perkataan sahabat; “kejujuran itu
menenangkan, sedang dusta itu meragukan (raibah).” Firman Allah SWT:
‘(yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.’ (QS. Al-Ra’d: 28)
|
Ibnu Qayyim mencatat dua perbedaan
pendapat mengenai kedudukan sakinah dan thuma’ninah. Pendapat pertama
dinyatakan bahwa thuma’ninah merupakan akibat dari sakinah, bahkan thuma’ninah
merupakan puncak sakinah. Pendapat yang lain dinyatakan bahwa sakinah merupakan
akibat thuma’ninah. Menyikapi dua perbedaan ini, Ibnu Qayyim menyatakan bahwa
thuma’ninah lebih umum dari pada sakinah, sebab thuma’ninah mencakup ketenangan
dari ilmu, keyakinan, keimanan, sedang sakinah hanya mencakup ketenangan dari
rasa takut.
Sedangkan rileks (rahah) merupakan
akibat dari sakinah dan thuma’ninah, yaitu keadaan batin yang santai, tenang,
dan tanpa adanya tekanan emosi yang kuat, meskipun mengerjakan pekerjaan yang
amat berat. Relaksasi batin seseorang tercermin sebagaimana ketika ia
dilahirkan, yang tumbuh dalam keadaan bersih dan suci dari segala dosa,
kotoran, dan penyakit. Bila ia menangis maka dengan segera dapat tersenyum dan
tertawa terbahak-bahak. Bila ia membenci seseorang maka tiada dendam, tetapi segera
melupakan dan kembali timbul keakraban. Bila ia mengalami goncangan jiwa,
seperti karena tidak dipedulikan atau dimarahi ibunya, ia segera lupa dan dapat
tidur pulas, tanpa menggantungkan diri dengan minum-minuman keras dan obat
tidur. Bila ia ingin hidup ceria dan bahagia, maka cukup dengan permainan yang
sarananya cukup sederhana, tanpa memerlukan zat adiktif seperti Narkoba.
Kondisi rileks memiliki korelasi
yang signifikan dengan kesucian batin. Jika batin bersih laksana cermin, maka
setitik noda yang menempel di dalamnya, segera diketahui dan mudah untuk
dihapus. Sementara batin yang penuh kotoran maka ia membentuk biang-biang dan
karat-karat dosa yang berasal dari akumulasi persenyawaan elemen-elemen jahat.
Seseorang yang memiliki jiwa yang kotor dan penuh dosa karena maksiat, maka
elemen-elemen yang jahat mudah bersenyawa dan membentuk komposisi tubuh yang
gampang terkena goncangan, keresahan, dan kebimbangan. Dosa adalah apa yang
dapat memuaskan dan membahagiakan jiwa.
Kondisi mental yang tenang dan
tenteram dapat digambarkan dalam tiga bentuk, yaitu: (1) adanya kemampuan
individu dalam menghadapi perubahan dan persoalan zaman. Misalnya, jika ia
terkena musibah maka musibah itu diserahkan dan dikembalikan kepada Allah (QS.
Al-Baqarah:156); bersikap bersahaja dalam menghadapi sesuatu, sebab sesuatu
yang dibenci terkadang memiliki nilai baik, sementara sesuatu yang disenangi
memiliki nilai buruk (QS. Al-Baqarah:216); (2) kemampuan individu dalam
bersabar menghadapi persoalan-persoalan hidup yang berat, misalnya cobaan akan
ketakutan dan kemiskinan (QS. al-Baqarah:155); dan (3) kemampuan individu untuk
optimis dan menganggap baik dalam menempuh kehidupan, sebab setiap ada
kesulitan pasti akan datang kemudahan (QS. al-Insyirah:4-5).
Mirisnya isu kesehatan mental masih melekat stigma negatif bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, jadi bagi yang mengalami penyakit mental merasa minder saat mau menggunakan layanan kesehatan mental. Tapi katanya dengan membaca artikel psikoedukasi secara intensif mampu menurunkan stigma sosial dan pribadi yang disematkan pada pengguna layanan kesehatan mental secara signifikan. Ini penelitiannya.
ReplyDelete