Friday 2 September 2016

Makalah Kesehatan Mental

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam tulisannya, ‘Pengantar dalam Kesehatan Jiwa’ (1982), Saparinah Sadli, guru besar Fakultas Psikologi UI mengemukakan tiga orientasi yang dapat dijadikan ukuran kesehatan jiwa, yakni : 1) Orientasi Klasik: Seseorang dianggap sehat bila ia tak mempunyai keluhan tertentu, seperti: ketegangan, rasa lelah, cemas, rendah diri atau perasaan tidak berguna, yang semuanya menimbulkan perasaan ‘sakit’ atau ‘rasa tidak sehat’ serta mengganggu efisiensi kegiatan sehari-hari. Orientasi ini banyak dianut di dunia kedokteran; 2) Orientasi Penyesuaian Diri: Seseorang dianggap sehat secara psikologis bila ia mampu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntunan orang-orang lain serta lingkungan sekitarnya;  3) Orientasi Pengembangan Potensi: Seseorang dianggap mencapai taraf kesehatan jiwa, bila ia mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensialitasnya menuju kedewasaan sehingga ia bisa dihargai oleh orang lain dan dirinya sendiri.
Terdapat empat rumusan kesehatan jiwa yang lazim dianut para ahli : 1)Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psichose); 2)Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tenpat ia hidup; 3)Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problema-problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik); 4)Kesehatan adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa; 5)Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kesehatan Mental
Istilah Kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari bahasa Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna dengan kata Psyhe yang berasal dari bahasa latin yang berarti Psikis atau Jiwa, jadi dapat diambil kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan mental.
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial) (Mujib dan Mudzakir, 2001, 2003). Zakiah Daradjat (1985:10-14) mendefinisikan kesehatan mental dengan beberapa pengertian:
  1. Terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose).
  2. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup.
  3. Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kebahagiaan pada diri dan orang lain; serta terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.
  4. Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.
Seseorang dapat dikatakan sehat tidak cukup hanya dilihat dari segi fisik, psikologis, dan sosial saja, tetapi juga perlu dilihat dari segi spiritual atau agama. Inilah kemudian yang disebut Dadang Hawari sebagai empat dimensi sehat itu, yaitu: bio-psiko-sosial-spiritual. Jadi seseorang yang sehat mentalnya tidak cukup hanya terbatas pada pengertian terhindarnya dia dari gangguan dan penyakit jiwa baik neurosis maupun psikosis, melainkan patut pula dilihat sejauhmana seseorang itu mampu menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, mampu mengharmoniskan fungsi-fungsi jiwanya, sanggup mengatasi problema hidup termasuk kegelisahan dan konflik batin yang ada, serta sanggup mengaktualisasikan potensi dirinya untuk mencapai kebahagiaan.
Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres) orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. (Noto Soedirdjo, 1980) menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang memilki kesehatan mental adalah memilki kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang datang dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen Karentanan (Susceptibility) Keberadaan seseorang terhadap stressor berbeda-beda karena faktor genetic, proses belajar dan budaya yang ada dilingkungannya, juga intensitas stressor yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga berbeda.
Atkinson menentukan kesehatan mental dengan kondisi normalitas kejiwaan, yaitu kondisi kesejahteraan emosional kejiwaan seseorang. Pengertian ini diasumsikan bahwa pada prinsipnya manusia itu dilahirkan dalam kondisi sehat. Atkinson  lebih lanjut menyebutkan enam indikator normalitas kejiwaan seseorang.
1.      Pertama, persepsi realita yang efisien. Individu cukup realistik dalam menilai kemampuannya dan dalam menginterpretasi terhadap dunia sekitarnya. Ia tidak terus menerus berpikir negatif terhadap orang lain, serta tidak berkelebihan dalam memuja diri sendiri.
2.      Kedua, mengenali diri sendiri. Individu yang dapat menyesuaikan diri adalah individu yang memiliki kesadaran akan motif dan perasaannya sendiri, meskipun tak seorang pun yang benar-benar menyadari perilaku dan perasaannya sendiri.
3.      Ketiga, kemampuan untuk mengendalikan perilaku secara sadar. Individu yang normal memiliki kepercayaan yang kuat akan kemampuannya, sehingga ia mampu mengendalikannya. Kondisi seperti itu tidak berarti menunjukkan bahwa individu tersebut bebas dari segala tindakan impulsif dan primitif, melainkan jika ia melakukannya maka ia menyadari dan berusaha menekan dorongan sek-sual dan agresifnya.   
4.      Keempat, harga diri dan penerimaan. Penyesuaian diri seseorang sangat ditentukan oleh penilaian terhadap harga diri sendiri dan merasa diterima oleh orang di sekitarnya. Ia merasa nyaman bersama orang lain dan mampu beradaptasi atau mereaksi secara spontan dalam segala situasi sosial.
5.      Kelima, kemampuan untuk membentuk ikatan kasih. Individu yang normal dapat membentuk jalinan kasih yang erat serta mampu memuaskan orang lain. Ia peka terhadap perasaan orang lain dan tidak menuntut yang berlebihan kepada orang lain. Sebaliknya, individu yang abnormal terlalu mengurusi perlindungan diri sendiri (self-centered).
6.      Keenam, produktivitas. Individu yang baik adalah individu yang menyadari kemampuannya dan dapat diarahkan pada aktivitas produktif. 

C. Metode Pemerolehan dan Pemeliharaan
Terdapat tiga pola yang mengungkapkan metode pemerolehan dan pemeliharaan kesehatan mental dalam perspektif Islam: Pertama, metode tahali, takhalli, dan tajalli; Kedua, metode syariah, thariqah, haqiqah dan ma’rifat; dan ketiga, metode iman, Islam dan ihsan. Sebuah hadits menunjukkan tiga metode yang mengungkapkan metode pemerolehan dan pemeliharaan kesehatan mental yaitu: 1) metode iman yang berkaitan dengan prinsip-prinsip kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan dan kepada hal-hal yang gaib; 2) metode Islam yang berkaitan dengan prinsip-prinsip ibadah dan muamalah; 3) metode ihsan yang berkaitan dengan prinsp-prinsip moral atau etika.

1. Metode Imaniah
Iman secara harfiah diartikan dengan rasa aman (al-aman) dan kepercayaan (al-amanah). Orang yang beriman berarti jiwanya merasa tenang dan sikapnya penuh keyakinan dalam menghadapi semua masalah hidup. Dalam mengatur alam dan isinya, Allah SWT memberikan rambu-rambu petunjuk (hidayah)-Nya untuk kelangsungan dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Petunjuk yang dimaksud diturunkan melalui dua jalur: Pertama, jalur tertulis yang termaktub dalam kitab suci Al-Quran dengan pemberian petunjuk inu dengan mengutus Rasul dan Malaikat-Nya. Jalur ini lazim disebut jalur Quraniyah; Kedua, jalur tidak tertulis yang berkaitan dengan alam dan isinya yang disebut dengan jalur kauniyah atau sunnatulah.
Keimanan yang direalisasikan secara benar akan membentuk kepribadian mukmin yang membentuk 6 karakter yaitu:
  1. Karakter Rabbani, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan (mengambil dan mengamalkan) sifat-sifat dan asma-asma Allah ke dalam tingkah laku nyata sebatas pada kemampuan manusiawinya. Proses pembentukan kepribadiannya ditempuh melalui tiga tahap yaitu ta’alluq, takballuq, dan tabaqquq . Proses ta’alluq adalah menggantungkan kesadaran diri dan pikiran kepada Allah dengan cara berpikir dan berzikir kepadaNya (QS. Ali-Imran:191). Proses takballuq adalah adanya kesadaran untuk menginternalisasikan sifat-sifat dan asma-asma Allah ke dalam tingkah laku nyata sebatas pada kemampuan manusiawinya. Proses ini dlakukan karena adanya fitrah menusia yang memiliki potensi asma’ al-husna. Proses tabaqquq adalah kesadaran diri akan adanya kebenaran, kemuliaan, keagungan Allah SWT sehingga tingka lakunya didominasi olehNya.
  2. Karakter Maliki, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan sifat-sifat Malaikat yang agung dan mulia. Kepribadian maliki diantaranya menjalankan perintahNya dan tidak berbuat maksiat (QS. Al-Tahrim: 6), bertasbih kepadaNya (QS. Al-Zumar: 75), menyampaikan informasi kepada yang lain (QS. Al-Nahl: 102), membagi-bagikan rizki untuk kesejahteraan berama dan memelihara kebun (Jannat) yang indah (QS. Ar-Ra’d: 24).
  3. Karakter Qurani, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan nilai-nilai Qurani dalam tingkah laku nyata. Karakter kepribadian Qurani seperti membaca, memahami dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalam Al-Quran dan Sunnah.
  4. Karakter Rasuli, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan sifat-sifat Rasul yang mulia. Karakter kepribadian Rasuli diantaranya jujur (al-Siddiq), dapat dipercaya (al-Amanah), menyampaikan informai atau wahyu (al-Tabligh) dan cerdas (al-Fathonah).
  5. Karakter yang berwawasan dan mementingkan masa depan (hari akhir) yang menghendaki adanya karakter yang mementingkan jangka panjang daripada jangka pendek atau wawasan masa depan daripada masa kini (QS. al-Dhuha: 4), bertanggung jawab (QS. al-Nisaa’: 77).
  6. Karakter Takdiri, yaitu karakter yang menghendaki adanya penyerahan dan kepatuhan pada hukum-hukum, aturan-aturan dan sunnah-sunnah Allah SWT untuk kemaslahatan hidupnya.

2. Metode Islamiah
Islam secara etimologi memilik tiga makna yakni penyerahan dan ketundukan (al-silm), perdamaian dan keamanan (al-salm), dan keselamatan (al-salamah) . Realisasi metode Islam dapat membentuk kepribadian muslim yang mendorong seseorang untuk hidup bersih, suci dan dapat menyesuaikan dengan segala kondisi yang merupakan syarat terciptanya kesehatan mental. Kepribadian muslim membentuk lima karakter ideal. 
  1. Karakter syabadatain yaitu karakter yang mampu menghilangkan dan membebaskan diri dari segala belenggu atau dominasi tuhan-tuhan temporal dan relatif seperti materi dan hawa nafsu (QS. Al-Furqon: 43). Lalu mengisi diri sepenuh hati hanya kepada Allah SWT.
  2. Karakter mushailli yaitu karakter yang mampu berkomunikasi dengan Allah dan dengan sesama manusia. Komunikasi ilahiah ditandai dengan takbir,sedangkan kominukasi ihsaniah ditandai dengan salam. Karakter mushailli juga menghendaki adanya kebersihan dan kesucian lahir dan batin dengan berwudhu (kesucian lahir) dan dalam kesucian batin diwujudkan dalam bentuk keikhlasan dan kekhusyu’an.
  3. Karakter muzakki, yaitu karakter yang berani mengorbankan hartanya untuk kebersihan dan kesucian jiwanya (QS. al-Taubah: 103), serta pemerataan kesejahteraan ummat pada umumnya.
  4. Karakter sha’im yaitu karakter yang mampu mengendalikan dan menahan diri dari nafsu-nafsu rendah. Dan apabila dirinya terbebas dari nafsu-nafsu rendah maka ia berusaha mengisi diri dengan tingkah laku yang baik.
  5. Karakter hajji yaitu karakter yang mampu mengorbankan harta, waktu, bahkan nyawa demi memenuhi panggilan Allah SWT.

3. Metode Ihsaniah
Ihsan secara bahasa berarti baik. Orang yang baik (Muhsin) adalah orang yang mengetahui hal-hal yang baik, mengaplikasikan dengan prosedur yang baik dan dlakukan dengan niatan yang baik. Metode ini bila dilakukan dengan benar maka memberikan kepribadian muhsin yang ditempuh dalam beberapa tahapan , yaitu:

a.       Tahapan permulaan (al-bidayah)
Pada tahap ini, seseorang akan rindu pada khaliknya. Ia sadar dalamkerinduan itu terdapat tabir (al-hijab) yang menghalangi hubungannya sehingga ia berusaha menghilangkan tabir tersebut. Tahapan ini disebut takhalli yaitu mengosongkan diri dari segalasifat kotor, maksiat dan tercela.
b.      Tahapan kesungguhan dalam menempuh kebaikan (al-mujabadat)
Tahapan ini kepribadian seseorang telah bersih dari sifat-sifat tercela dan maksiat lalu berusaha secara sungguh-sungguh untuk mengisi diri dengan tingkah laku yang baik yang disebut dengan tahapan tahailli. Tahailli adalah upaya mengisi diri dengan sifat-sifat yang baik yang terdiri dari beberapa fase yaitu: 1) taubat dari segala tngkah laku yang mengandung dosa; 2) menjaga diri dari hal-hal yang subhat (al-wara’); 3) tidak terikat oleh gemerlapan materi; 4) merasa butuh pada Allah (al-faqr); 5) sabar terhadap cobaan dan melaksanakan kebajikan; 6) tawakkal pada putusan Allah; 7) ridha terhadap pemberian Allah; 8) merasa bersyukur atas nikmay yang Allah berikan; 9) ikhlas melakukan apa saja demi Allah; 10) takut (al-khauf) dan berharap (al-raja) terhadap Allah; 11) kontinue dalam melakukan kewajiban (al-istiqomah); 12) takwa kepada Allah; 13) jujur, berpikir, berzikir dan sebagainya.
Tahapan ini harus ditopang tujuh pendidikan dan latihan psikofisik yaitu:
         Musyarathah, yaitu memberikan dan menemukan syarat bagi diri sendiri.
         Muraqabah, yaitu mawas diri dari perbuatan maksiat agar selalu dekat kepada Allah.
         Muhasabah, yaitu membuat perhitungan terhadap tingkah laku yang diperbuat.
         Mu’aqabah, yaitu menghukum diri sendiri karena melakukan keburukan.
         Mujahadah, yaitu bersungguh-sungguh berusaha menjadi baik.
         Mu’atabah, yaitu menyesali diri atas perbuatan dosanya.
         Mukasyafah, yaitumembuka penghalang atau tabir agar tersingkap semua rahasia Allah.

c.       Tahapan merasakan (al-Muziqat)
Pada tahapan ini seorang hamba tidak sekedar menjalankan perintah Khalik-nya dan menjauhi larangannya, namun ia merasakan kedekatan, kelezatan, kerinduan denganNya. Tahapan ini disebut tajalli, yaitu menempakkan sifat-sifat Allah pada diri manusianya setelah sifat-sifat buruknya dihilangkan dan tabir menjadi sirna. Oleh sufi tahapan ini biasa dilalui dalam dua proses yaitu al-fana dan al-baqa. Bila seseorang mampu menghilangkan wujud jasmaniah dengan menghilangkan nafsu-nafsu impulsifnya dan tidak terikat oleh materi atau lingkungan sekitar, makaia telah al-fana. Kondisi itu lalu beralih pada ke-baqa-an wujud ruhani yang ditandai dengan tetapnya sifat-sifat ketuhanan . Ketika tahapan itu telah dilalui maka muncul apa yang disebut al-baal yaitu kondisi spiritual dimana sang pribadi telah mencapai kebahagiaan tertinggi yang dicita-citakan.

F. Tanda-Tanda Kesehatan Mental dalam Islam
Tanda-tanda kesehatan mental, menurut Muhammad Mahmud Mahmud, terdapat sembilan macam,  yaitu: pertama, kemapanan (al-sakinah), ketenangan (al-thuma’ninah), dan rileks (al-rahah) batin dalam menjalankan kewajiban, baik kewajiban terhadap dirinya, masyarakat, maupun Tuhan.
Kata “sakinah” dalam kajian semantik bahasa Arab berasal dari kata sakana yang berarti makan (tempat), maskin yang berarti manzil atau bayt (tempat tinggal atau rumah), sukn yang berarti ahl aw ‘iyal al-dar (penduduk desa atau negara).  Dari  pengertian semantik ini, kata “sakinah” memiliki arti kemapanan disebabkan memiliki tempat tinggal atau wilayah yang menetap dan tidak berpindah-pindah. Terminologi “sakinah” juga memilikii arti (1) al-wada’ah. Al-waqarah, al-thuma’ninah yang berarti ketenangan; (2) al-rahmah yang berarti kasih sayang.  Atau dalam bahasa Inggris berarti calmness (ketenangan), quietness (keamanan), peacefulness (perdamaian), dan serenity (ketenteraman).
Al-Zuhaili dalam tafsirnya memberi arti “sakinah” dengan ketetapan atau ketenangan (al-tsabat dan al-thuma’ninah) jiwa dari segala kecemasan (al-qalaq/anxiety)  dan kesulitan atau kesempitan batin (al-Idtirar). Sakinah juga memiliki arti meninggalkan permusuhan atau peperangan,  rasa aman (al-aman), hilangnya ketakutan (al-khwf/phobia) dan kesedihan dari jiwa.  Ibnu Qayyim memberi arti sakinah dengan ketenangan yang dihujamkan oleh Allah SWT. Pada jiwa orang-orang mukmin yang takut, resah dan gelisah, agar keimanan dan keyakinannya bertambah. 
Pengertian “ketenangan” di dalam istilah sakinah tidak berarti statis atau tidak bergerak, sebab dalam “sakinah” terdapat aktivitas yang disertai dengan perasaan tenang, seperti orang yang melakukan kerja dengan disertai rasa ketenangan. Apabila istilah sakinah memiliki arti statis dan tidak bergerak bararti jiwa manusia tidak akan berkembang, yang hal itu menyalahi hukum-hukum perkembangan.
 Firman Allah SWT:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj77EYT1SZ9b3PlVPY-Dq9dsfMRClUlpGBnrEFsDbos7OWHSa0SpRU800LUGZvYDKyTqNKDqPTR2VJW3TwN7AUdFFJkori0tfAjMrlVunMtgnSqu-I-BhsCBr_IECYa4b_-nQ5cXRppx-xL/s1600/1.png
’Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu'min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,’ (QS. Al-Fath: 4).
Kata thuma’ninah hampir memiliki makna yang sama dengan sakinah, yaitu ketetapan kalbu pada sesuatu tanpa disertai kekacauan. Menurut sabda Nabi; “kebaikan itu adalah sesuatu yang menenangkan di dalam hati” dan dalam perkataan sahabat; “kejujuran itu menenangkan, sedang dusta itu meragukan (raibah).” Firman Allah SWT:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8eCp6Sw7UU6gGnuzI2Dauqhsy0wL4ExHZwMtU81qy9Xxa7jEsq7po6Fe96ceS18pM1YqqakU-L1StFy47xFzNKEEhQueTulDthcC7vDXyNz8IeJ_xtoJvu1DhLsBuqUtqy5ZRSuInb3F6/s1600/1.png
‘(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.’ (QS. Al-Ra’d: 28)
Ibnu Qayyim mencatat dua perbedaan pendapat mengenai kedudukan sakinah dan thuma’ninah. Pendapat pertama dinyatakan bahwa thuma’ninah merupakan akibat dari sakinah, bahkan thuma’ninah merupakan puncak sakinah. Pendapat yang lain dinyatakan bahwa sakinah merupakan akibat thuma’ninah. Menyikapi dua perbedaan ini, Ibnu Qayyim menyatakan bahwa thuma’ninah lebih umum dari pada sakinah, sebab thuma’ninah mencakup ketenangan dari ilmu, keyakinan, keimanan, sedang sakinah hanya mencakup ketenangan dari rasa takut. 
Sedangkan rileks (rahah) merupakan akibat dari sakinah dan thuma’ninah, yaitu keadaan batin yang santai, tenang, dan tanpa adanya tekanan emosi yang kuat, meskipun mengerjakan pekerjaan yang amat berat. Relaksasi batin seseorang tercermin sebagaimana ketika ia dilahirkan, yang tumbuh dalam keadaan bersih dan suci dari segala dosa, kotoran, dan penyakit. Bila ia menangis maka dengan segera dapat tersenyum dan tertawa terbahak-bahak. Bila ia membenci seseorang maka tiada dendam, tetapi segera melupakan dan kembali timbul keakraban. Bila ia mengalami goncangan jiwa, seperti karena tidak dipedulikan atau dimarahi ibunya, ia segera lupa dan dapat tidur pulas, tanpa menggantungkan diri dengan minum-minuman keras dan obat tidur. Bila ia ingin hidup ceria dan bahagia, maka cukup dengan permainan yang sarananya cukup sederhana, tanpa memerlukan zat adiktif seperti Narkoba.
Kondisi rileks memiliki korelasi yang signifikan dengan kesucian batin. Jika batin bersih laksana cermin, maka setitik noda yang menempel di dalamnya, segera diketahui dan mudah untuk dihapus. Sementara batin yang penuh kotoran maka ia membentuk biang-biang dan karat-karat dosa yang berasal dari akumulasi persenyawaan elemen-elemen jahat. Seseorang yang memiliki jiwa yang kotor dan penuh dosa karena maksiat, maka elemen-elemen yang jahat mudah bersenyawa dan membentuk komposisi tubuh yang gampang terkena goncangan, keresahan, dan kebimbangan. Dosa adalah apa yang dapat memuaskan dan membahagiakan jiwa.

Kondisi mental yang tenang dan tenteram dapat digambarkan dalam tiga bentuk, yaitu: (1) adanya kemampuan individu dalam menghadapi perubahan dan persoalan zaman. Misalnya, jika ia terkena musibah maka musibah itu diserahkan dan dikembalikan kepada Allah (QS. Al-Baqarah:156); bersikap bersahaja dalam menghadapi sesuatu, sebab sesuatu yang dibenci terkadang memiliki nilai baik, sementara sesuatu yang disenangi memiliki nilai buruk (QS. Al-Baqarah:216); (2) kemampuan individu dalam bersabar menghadapi persoalan-persoalan hidup yang berat, misalnya cobaan akan ketakutan dan kemiskinan (QS. al-Baqarah:155); dan (3) kemampuan individu untuk optimis dan menganggap baik dalam menempuh kehidupan, sebab setiap ada kesulitan pasti akan datang kemudahan (QS. al-Insyirah:4-5).

1 comment:

  1. Mirisnya isu kesehatan mental masih melekat stigma negatif bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, jadi bagi yang mengalami penyakit mental merasa minder saat mau menggunakan layanan kesehatan mental. Tapi katanya dengan membaca artikel psikoedukasi secara intensif mampu menurunkan stigma sosial dan pribadi yang disematkan pada pengguna layanan kesehatan mental secara signifikan. Ini penelitiannya.

    ReplyDelete