BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Abu Nashr bin Audagh bin
Thorhan al-Farabi (w. 339 H/950 M), biasa disebut al-Farabi, adalah salah satu
cendekiawan muslim (filosof) yang memiliki konsep kenegaraan cukup baik. Konsep
ini dikemas dengan bungkus al-madinah al-fadhilah, the best country atau
juga negara ideal.Inti filsafat kenegaraan al-Farabi, seperti diuraikannya
dalam karya Ara' Ahl al-Madinah al-Fadhilah, berupa autokrasi dengan seorang
raja (kepala negara) berkuasa mutlak mengatur tatanan negara. Karenanya,
sebagaimana Plato sang idolanya, al-Farabi mengecam negara yang dibangun di
atas landasan demokrasi. Menurut al-Farabi, negara yang baik adalah negara yang
rakyatnya tunduk patuh pada kepala negara. Ini seperti posisi para shahabat di
depan Nabi Muhamamd SAW sebagai pemimpin mereka.
Dalam hal ini, al-Farabi
membedakan negara menjadi lima kategori, negara utama (al-madinah
al-fadhilah),negara sesat (al-madinah al-dhalalah), negara jahil (al-madinah al-jahilah),Negara Fasik (al-madinah
al-fasiqah), negara massa (al-madinah
al-mutabadilah).
Pada makalah yang saudara
pegang ini akan membahas kelima kategori tersebut. Dari pengertiannya sampai pada definisinya,dan latar
belakang munculnya filsafat politik dan kenegaraan al farabi ini.semoga makalah
ini dapat memberi penjelasan dan pemahaman yang lebih mudah dan
mendetail. Segala yang benar hanya
milik Allah SWT sedangkan salah penulislah yang salah.
1.2
Perumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam penulisan ini penulis
memperoleh hasil yang diinginkan, maka penulis mengemukakan bebe-rapa
rumusan masalah. Rumusan masalah itu adalah:
- Apakah fungsi utama filsfat Kenegaraa bagi bangsa dan negara Indonesia?
- Apakah bukti bahwa falsafah Pancasila dijadikan sebagai dasar falsafah negara Indonesia?
1.3
Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain:
1.
Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pancasila.
2.
Untuk menambah pengetahuan tentang Pancasila dari aspek filsafat.
1.4
Manfaat
Manfaat yang didapat dari makalah ini adalah:
1.
Mahasiswa dapat menambah pengetahuan tentang Pancasila dari aspek filsafat.
2.
Mahasiswa dapat mengetahui landasan filosofis Pancasila.
3.
Mahasiswa dapat mengetahui fungsi utama filsafat Pancasila bagi bangsa dan negara
Indonesia.
4.
Mahasiswa dapat mengetahui bukti bahwa falsafah Pancasila dijadikan sebagai
dasar falsafah negara Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi
Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan
ibnu Auzalagh,lebih tepatnya Al-Faribi. Lahir di wasij, Distrik farab,
Turkistan pada tahun 257 H/870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan persia
dan ibunya berkebangsaan turki. Al-Faribi dalam usia 40 tahun pergi ke
baghdad,yang saat itu sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengatuhan. Pada tahun
330 H/945 M, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah
Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Dari baghdad pergi ke damaskus
beliau menetap selama 20 tahun,baliau meninggal pda tahun 339 H/950 M di
usianya yang 80tahun.Ketika tinggal di damaskus Al-Farabi menjalani hidup
menyendiri, ‘uzlah, dalam sebuah taman sejuk nan indah. Di situ dia menerima
para tamu dan disitu pula dia mengajar para murid dan menulis karya-karyanya.
Karyanya baru tersebar luas di dunia timur pada abad 4 dan 5 hijriyah. Baru
setelah itu andalusia di dunia barat.
Pada masa Al-Farabi keadaan politik dan militer
Daulah Abbasiah relatif tidak stabil. Di saat itu munculah karya Al-farabi yang
tergolong monumental Ara’ ahl al-madinah al-fadhilah. Di dalam karya
tersebut dia membahas hubungan antara teologi dan poltik yang pada saat itu
jarang dibicarakan orang. Karya tersebut merupakan refleksi dari uraian plato
tentang republic yang digambarkan dalam bentuk kota
utama.
Salain
itu kekuatan politik Islam yang berkuasa bersifat heterogen.hal Itu dilihat
dari kemerosotan kejayaan Dinasti Abassiyah di Bagdad secara politis,Kondisi
politik seperti inilah yang agaknya menjadi faktor utama yang mempengaruhi pada
pemikiran politik al-Farabi.
2.1
Pemikiran
Tentang Asal-Usul Negara Dan Warga Negara
Menurut
Al-Farabi manusia merupakan warga negara yang merupakan salah satu syarat
terbentuknya negara. Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu
membutuhkan bantuan orang lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan (asosiasi).
Kemudian, dalam proses yang panjang, pada akhirnya terbentuklah suatu Negara.
Menurut Al-Farabi, Negara merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling
mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup antara lain: sandang,
pangan,papan, dan keamanan, serta mampu mengatur ketertiban masyarakat,
sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah. Negara yang
warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata,
menurut al-Farabi, adalah Negara Utama.
Keberadaan
warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat,corak
serta jenis negara. Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara
ditentukan oleh warga negaranya. Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin
negara, yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna di antara mereka.
Negara Utama
dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama, karena secara alami,
pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna. Ada
tiga klasifikasi utama:
Pertama, jantung.
Jantung merupakan organ pokok karena jantung adalah organ pengatur yang tidak
diatur oleh organ lainnya. Kedua, otak. Bagian peringkat kedua ini, selain
bertugas melayani bagian peringkat pertama, juga mengatur organ-ogan bagian di
bawahnya, yakni organ peringkat ketiga, seperti: hati, limpa, dan organ-organ
reproduksi.Organ bagian ketiga. Organ terbawah ini hanya bertugas mendukung dan
melayani organ dari bagian atasnya.
Al-Farabi membagi negara ke dalam
lima bentuk, yaitu:
a)
Negara Utama (Al-Madinah Al-Fadilah):
Pada lingkupnya yang lebih
khusus tentang ini, al-Farabi sebenarnya memformulasikan gagasan kota idealnya
dengan bertumpu pada dua konsep utama. Pertama, konsep tentang pemimpin
dan yang dipimpin, atau konsep kepemimpinan. Kedua, konsep kebahagiaan.
Penjelasan awal bab khusus tentang al-madinah al-fadilah-nya dalam
kitabnya As-Siyasah al-Madaniyah cukup memberikan ketegasan perihal hal
ini, bahwa manusia hidup memerlukan seorang guide (pemimpin, mualim)
untuk menemukan kebahagiaan mereka. Dengan begitu, kerangka dasar yang
membangun gagasan al-Madinah al-Fadilah berangkat dari konsep kepemimpinan, di
mana untuk dapat membentuk sebuah kota yang sedemikian rupa harus mucul seorang
pemimpin yang memiliki keutamaan penuh. Yamani menyebut pemimpin macam ini
sebagai pemimpin tertinggi atau unqualified ruler, penguasa tanpa
kualifikasi.
Yang kemudian dari konsep
ini (kepemimpinan) al-Farabi melilitkan konsep kebahagiaan padanya. Bahwa
tujuan manusia menjalani hidupnya adalah untuk meraih kebahagiaan. Dan untuk menghidupkan dua konsep utama ini, al-Farabi
memasukkan prasyarat-prasyarat perihal hal ini. Bagaimana misalnya
kecenderungan manusia.
Bahwa manusia akan selalu mencoba mengarahkan hidupnya untuk
mencapai kebahagiaan. Selain itu, manusia juga memiliki kecenderungan lain
berupa keterikatan mereka dalam sebuah komunitas, seperti yang dikatakan
Aristoteles bahwa manusia adalah Zoon Politikon, secara alamiah mereka
tidak akan lepas dari kehidupan sosial dan oleh karena itu mereka terus berpolitik
untuk bertahan hidup. Agar komunitas ini dapat menjadi sebuah komunitas unggul
diperlukanlah seorang pemimpin yang memiliki keutamaan.
Mengenai kepemimpinan. Al-Farabi mengkategorikan orang
menjadi tiga, pemimpin tertinggi, orang yang memimpin dan dipimpin, dan orang
yang sepenuhnya dipimpin. Dan kota utama dipimpin oleh seorang pemimpin
tertinggi. Pemimpin macam itu adalah orang yang sempurna secara fisik dan
mentalnya. Dalam konsep Sunni derajat pemimpin semacam ini hanya dapat dimiliki
oleh seseorang dengan tingkatan Nabi. Meski dalam sejarahnya, kehidupan politik para Nabi pun
pada umumnya mengalami sebuah kondisi yang dapat dikatakan dilematis, bahkan
hampir semuanya tidak pernah berhasil membentuk sebuah tatanan masyarakat yang
ideal dan dengan kecenderungan memiliki umat yang durhaka. Sampai pada Nabi
terakhir, Muhammad SAW, konsep kepemimpinan itu seperti baru menemukan
bentuknya. Dengan keberhasilan Muhammad SAW menyatukan masyarakat Arab, agaknya
dapat disebut bahwa apa yang Muhammad SAW bentuk adalah sebuah kota utama di
bawah kepemimpinannya. Dengan begitu pada dasarnya setiap Nabi memiliki potensi
yang sama untuk membangun sebuah kota ideal, dengan kualitas yang mereka
miliki. Dan sekali lagi, satu-satunya Nabi yang berhasil mengaktualkan potensi
itu adalah Muhammad SAW.
Sedang
dalam pandangan Syiah, kualitas pemimpin yang dapat membentuk sebuah kota
utama, tidak hanya pada level para Nabi tetapi juga Imam-imam, yang meski dalam
sejarah belum terbukti bahwa ada seorang Imam yang dapat membentuk sebuah kota
utama. Namun, pada kepercayaan mereka, kota utama itu pada masanya nanti akan
dapat dibentuk oleh Imam Mahdi (Muhammad al-Mahdi al-Muntazar, Imam terakhir
mereka).
Menurut al-Farabi, ketika sebuah kota utama terbentuk, tugas
para pemimpin ini adalah mengatur jalannya aktivitas penduduknya agar tetap
pada kapasitas masing-masing. Agar asosiasi yang tercipta pun berjalan
harmonis. Dengan begitu dalam sebuah kota utama, spesialisasi penduduknya
memang harus ada dan seorang pemimpin harus dapat mengatur ini dengan baik.
Tujuan
kota utama adalah kebahagiaan. Baik secara individual maupun komunal, kota
utama harus memberikan kebahagiaan bagi penghuninya. Pemimpin dalam kota ini
memiliki tugas untuk membimbing dan menunjukkan warganya pada kebahagiaan itu
.
b)
Negara Orang-orang Bodoh (Al-Madinah Al-Jahiliyah):
negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.Negara jahiliyah yang
merupakan lawan bagi Negara utama, yang dimaksud disini adalah Negara yang
warganya tidak mengetahui kebahagiaan yang sebenarnya, karena mengartikan kebahagiaan
dengan segala hal yang secara superficial dianggap baik dan merupakan tujuan
dari pada hidup itu sendiri seperti kesenangan, kemakmuran, kesehatan tubuh,
kebebasan memenuhi hasrat, dll.Al-Farabi membagi Negara jahiliyah menjadi enam
bagian:
pertama, Negara kebutuhan dasar, Negara yang menganggap kebutuhan dasar manusia
adalah suatu kebahagian, bagi mereka orang yang mampu menguasai menejemen untuk
mendapatkan kebutuhan-kebutuhan adalah orang yang pantas dijadikan pemimpin.
Singkatnya Negara ini mengartikan kebahagian dengan terpenuhinya segala
kebutuhan yang cenderung material.
Kedua, Negara jahat yaitu Negara kebutuhan dasar dalam tingkat ekstrim, bagi
penduduknya kebahagiaan hanya merupakan hal-hal yang material.
Ketiga, Negara rendah yaitu kata yang para penduduknya hanya menuntuk
kesenangan-kesenangan belaka yang sekedar berguna bagi kebutuhan hidup.
Keempat, Negara kehormatan yaitu Negara yang hanya memprioritaskan kehormatan
dan pujian belaka dari bangsa-bangsa lain yang tujuannya tak lain hanya ingin
mendapatkan sanjungan belaka.
Kelima, Negara kekuasaan yaitu Negara yang haus akan kekuasaan yang mengartikan
kebahagiaan dengan menguasai Negara-Negara selainnya.
Yang Keenam adalah Negara demokratik, Negara yang tujuan hidupnya adalah
kebebasan, yang penduduk boleh melakukan segala hal tanpa sedikitpun dikekang
kehendaknya.
c)
Negara Orang-orang Fasik (al-madinah al-fasiqah)
negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, tetapi tingkah laku mereka sama
dengan penduduk negara orang-orang bodoh.
Dalam kata lain Negara fasiq yaitu Negara yang pada dasarnya mengetahui
pengetahuan, kebahagian sejati, terdidik dsb, akan tetapi mereka tidak berbuat
sesuai dengan apa yang diketahuinya dan diyakininya sebaliknya mereka malah
menghendaki kebahagiaan dengan meraih kebutuhan-kebutuhan seperti Negara
jahiliyah.
d)
Negara yang Berubah-ubah (Al-Madinah Al-Mutabaddilah):
pada awalnya penduduk negara ini memiliki pemikiran dan pendapat seperti
penduduk negara utama, namun kemudian mengalami kerusakan.
e)
Negara Sesat (Al-Madinah Ad-dallah):
negara yang dipimpin oleh orang yang menganggap dirinya mendapat wahyu dan
kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di zaman moderen sekarang para penguasa
tidak ada yang mengklaim dirinya tuhan, tetapi tuntutan-tuntutan mereka tidak
ubahnya dengan tuntutan-tuntutan Tuhan,yaitu kemutlakan kekuasaan atas rakyat
yang diperintah. Mungkin hal inilah yang patut
untuk kita sebagai penerus bangsa sebagai calon-calon intelek untuk meresapi
kemiskinan moral yang dihadapi bangsa ini.
Dari
lima negara yang disimpulkan oleh Al Farabi di atas entah bangsa ini dapat no
berapa,tentunya setiap orang mempunyai nilai sendiri-sendiri.
Umat
islam ini jatuh di mulai sejak ditinggalkannya sistem khalifah dan dipakainya
sistem mulk, atau juga demokrasi.
Al
madudi berkata dalam konsep negaranya “kedaulatan (souverenitas) ada ditangan
Tuhan ‘bukan’ ditangan manusia.seperti yang digadang-gadang dinegara demokrasi.
Dan mungkin inilah yang disampaikan oleh Al Farabi sebagai filosof “ KEMBALI
KEPADA HUKUM ALLAH”
Semoga dengan makalah ini kita
dapatkan ibrah yang dapat merubah sudut pandang hidup yang lebih baik.
Amiinn...
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Imam Sukardi.2005.Etape-Etape
Sufistik filosofis Meniti Revolusi Hidup.Pustaka pelajar,Yogyakarta.
Prof.Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A.
2007.Filsafat Islam (filosof dan filsafatnya). PT Rajagrafindo Persada.
Jakarta.
Yamani,2002 Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan
[1] Prof.Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A.
Filsafat Islam (filosof dan filsafatnya). PT Rajagrafindo Persada.
Jakarta.2007.hal 65-66
[2] Drs. Imam Sukardi,Etape-Etape Sufistik
filosofis Meniti Revolusi Hidup.Pustaka pelajar,Yogyakarta.2005 hal 7-8
[4] Drs. Imam Sukardi,Etape-Etape Sufistik
filosofis Meniti Revolusi Hidup.Pustaka pelajar,Yogyakarta.2005
No comments:
Post a Comment