Sunday 4 September 2016

makalah filsafah kenegaraan



BAB I
PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang
Abu Nashr bin Audagh bin Thorhan al-Farabi (w. 339 H/950 M), biasa disebut al-Farabi, adalah salah satu cendekiawan muslim (filosof) yang memiliki konsep kenegaraan cukup baik. Konsep ini dikemas dengan bungkus al-madinah al-fadhilah, the best country atau juga negara ideal.Inti filsafat kenegaraan al-Farabi, seperti diuraikannya dalam karya Ara' Ahl al-Madinah al-Fadhilah, berupa autokrasi dengan seorang raja (kepala negara) berkuasa mutlak mengatur tatanan negara. Karenanya, sebagaimana Plato sang idolanya, al-Farabi mengecam negara yang dibangun di atas landasan demokrasi. Menurut al-Farabi, negara yang baik adalah negara yang rakyatnya tunduk patuh pada kepala negara. Ini seperti posisi para shahabat di depan Nabi Muhamamd SAW sebagai pemimpin mereka.
Dalam hal ini, al-Farabi membedakan negara menjadi lima kategori, negara utama (al-madinah al-fadhilah),negara sesat (al-madinah al-dhalalah), negara jahil (al-madinah al-jahilah),Negara Fasik (al-madinah al-fasiqah), negara massa (al-madinah al-mutabadilah).
Pada makalah yang saudara pegang ini akan membahas kelima kategori tersebut. Dari pengertiannya sampai pada definisinya,dan latar belakang munculnya filsafat politik dan kenegaraan al farabi ini.semoga makalah ini  dapat memberi penjelasan dan pemahaman yang lebih mudah dan mendetail. Segala yang benar hanya milik Allah SWT sedangkan salah penulislah yang salah.

1.2   Perumusan Masalah
               Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam penulisan ini penulis memperoleh hasil yang diinginkan, maka  penulis mengemukakan bebe-rapa rumusan masalah. Rumusan masalah itu adalah:
  1. Apakah fungsi utama filsfat Kenegaraa bagi bangsa dan negara Indonesia?
  2. Apakah bukti bahwa falsafah Pancasila dijadikan sebagai dasar falsafah negara Indonesia?

1.3   Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain:
1.      Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pancasila.
2.      Untuk menambah pengetahuan tentang Pancasila dari aspek filsafat.

1.4   Manfaat
               Manfaat yang didapat dari makalah ini adalah:
1.      Mahasiswa dapat menambah pengetahuan tentang Pancasila dari aspek filsafat.
2.      Mahasiswa dapat mengetahui landasan filosofis Pancasila.
3.      Mahasiswa dapat mengetahui fungsi utama filsafat Pancasila bagi bangsa dan negara Indonesia.
4.      Mahasiswa dapat mengetahui bukti bahwa falsafah Pancasila dijadikan sebagai dasar falsafah negara Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Biografi
Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalagh,lebih tepatnya Al-Faribi. Lahir di wasij, Distrik farab, Turkistan pada tahun 257 H/870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan persia dan ibunya berkebangsaan turki. Al-Faribi dalam usia 40 tahun pergi ke baghdad,yang saat itu sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengatuhan. Pada tahun 330 H/945 M, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Dari baghdad pergi ke damaskus beliau menetap selama 20 tahun,baliau meninggal pda tahun 339 H/950 M di usianya yang 80tahun.Ketika tinggal di damaskus Al-Farabi menjalani hidup menyendiri, ‘uzlah, dalam sebuah taman sejuk nan indah. Di situ dia menerima para tamu dan disitu pula dia mengajar para murid dan menulis karya-karyanya. Karyanya baru tersebar luas di dunia timur pada abad 4 dan 5 hijriyah. Baru setelah itu andalusia di dunia barat.
Pada masa Al-Farabi keadaan politik dan militer Daulah Abbasiah relatif tidak stabil. Di saat itu munculah karya Al-farabi yang tergolong monumental Ara’ ahl al-madinah al-fadhilah. Di dalam karya tersebut dia membahas hubungan antara teologi dan poltik yang pada saat itu jarang dibicarakan orang. Karya tersebut merupakan refleksi dari uraian plato tentang republic yang digambarkan dalam bentuk kota utama.

            Salain itu kekuatan politik Islam yang berkuasa bersifat heterogen.hal Itu dilihat dari kemerosotan kejayaan Dinasti Abassiyah di Bagdad secara politis,Kondisi politik seperti inilah yang agaknya menjadi faktor utama yang mempengaruhi pada pemikiran politik al-Farabi.

2.1              Pemikiran Tentang Asal-Usul Negara Dan Warga Negara
Menurut Al-Farabi manusia merupakan warga negara yang merupakan salah satu syarat terbentuknya negara. Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan (asosiasi). Kemudian, dalam proses yang panjang, pada akhirnya terbentuklah suatu Negara. Menurut Al-Farabi, Negara merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup antara lain: sandang, pangan,papan, dan keamanan, serta mampu mengatur ketertiban masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah. Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata, menurut al-Farabi, adalah Negara Utama.
Keberadaan warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat,corak serta jenis negara. Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara ditentukan oleh warga negaranya. Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara, yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna di antara mereka.
Negara Utama dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama, karena secara alami, pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna. Ada tiga klasifikasi utama:
Pertama, jantung. Jantung merupakan organ pokok karena jantung adalah organ pengatur yang tidak diatur oleh organ lainnya. Kedua, otak. Bagian peringkat kedua ini, selain bertugas melayani bagian peringkat pertama, juga mengatur organ-ogan bagian di bawahnya, yakni organ peringkat ketiga, seperti: hati, limpa, dan organ-organ reproduksi.Organ bagian ketiga. Organ terbawah ini hanya bertugas mendukung dan melayani organ dari bagian atasnya.
Al-Farabi membagi negara ke dalam lima bentuk, yaitu:
a)      Negara Utama (Al-Madinah Al-Fadilah):
Pada lingkupnya yang lebih khusus tentang ini, al-Farabi sebenarnya memformulasikan gagasan kota idealnya dengan bertumpu pada dua konsep utama. Pertama, konsep tentang pemimpin dan yang dipimpin, atau konsep kepemimpinan. Kedua, konsep kebahagiaan. Penjelasan awal bab khusus tentang al-madinah al-fadilah-nya dalam kitabnya As-Siyasah al-Madaniyah cukup memberikan ketegasan perihal hal ini, bahwa manusia hidup memerlukan seorang guide (pemimpin, mualim) untuk menemukan kebahagiaan mereka. Dengan begitu, kerangka dasar yang membangun gagasan al-Madinah al-Fadilah berangkat dari konsep kepemimpinan, di mana untuk dapat membentuk sebuah kota yang sedemikian rupa harus mucul seorang pemimpin yang memiliki keutamaan penuh. Yamani menyebut pemimpin macam ini sebagai pemimpin tertinggi atau unqualified ruler, penguasa tanpa kualifikasi.
Yang kemudian dari konsep ini (kepemimpinan) al-Farabi melilitkan konsep kebahagiaan padanya. Bahwa tujuan manusia menjalani hidupnya adalah untuk meraih kebahagiaan. Dan untuk menghidupkan dua konsep utama ini, al-Farabi memasukkan prasyarat-prasyarat perihal hal ini. Bagaimana misalnya kecenderungan manusia.
Bahwa manusia akan selalu mencoba mengarahkan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan. Selain itu, manusia juga memiliki kecenderungan lain berupa keterikatan mereka dalam sebuah komunitas, seperti yang dikatakan Aristoteles bahwa manusia adalah Zoon Politikon, secara alamiah mereka tidak akan lepas dari kehidupan sosial dan oleh karena itu mereka terus berpolitik untuk bertahan hidup. Agar komunitas ini dapat menjadi sebuah komunitas unggul diperlukanlah seorang pemimpin yang memiliki keutamaan.
Mengenai kepemimpinan. Al-Farabi mengkategorikan orang menjadi tiga, pemimpin tertinggi, orang yang memimpin dan dipimpin, dan orang yang sepenuhnya dipimpin. Dan kota utama dipimpin oleh seorang pemimpin tertinggi. Pemimpin macam itu adalah orang yang sempurna secara fisik dan mentalnya. Dalam konsep Sunni derajat pemimpin semacam ini hanya dapat dimiliki oleh seseorang dengan tingkatan Nabi. Meski dalam sejarahnya, kehidupan politik para Nabi pun pada umumnya mengalami sebuah kondisi yang dapat dikatakan dilematis, bahkan hampir semuanya tidak pernah berhasil membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal dan dengan kecenderungan memiliki umat yang durhaka. Sampai pada Nabi terakhir, Muhammad SAW, konsep kepemimpinan itu seperti baru menemukan bentuknya. Dengan keberhasilan Muhammad SAW menyatukan masyarakat Arab, agaknya dapat disebut bahwa apa yang Muhammad SAW bentuk adalah sebuah kota utama di bawah kepemimpinannya. Dengan begitu pada dasarnya setiap Nabi memiliki potensi yang sama untuk membangun sebuah kota ideal, dengan kualitas yang mereka miliki. Dan sekali lagi, satu-satunya Nabi yang berhasil mengaktualkan potensi itu adalah Muhammad SAW.
Sedang dalam pandangan Syiah, kualitas pemimpin yang dapat membentuk sebuah kota utama, tidak hanya pada level para Nabi tetapi juga Imam-imam, yang meski dalam sejarah belum terbukti bahwa ada seorang Imam yang dapat membentuk sebuah kota utama. Namun, pada kepercayaan mereka, kota utama itu pada masanya nanti akan dapat dibentuk oleh Imam Mahdi (Muhammad al-Mahdi al-Muntazar, Imam terakhir mereka).
Menurut al-Farabi, ketika sebuah kota utama terbentuk, tugas para pemimpin ini adalah mengatur jalannya aktivitas penduduknya agar tetap pada kapasitas masing-masing. Agar asosiasi yang tercipta pun berjalan harmonis. Dengan begitu dalam sebuah kota utama, spesialisasi penduduknya memang harus ada dan seorang pemimpin harus dapat mengatur ini dengan baik.
Tujuan kota utama adalah kebahagiaan. Baik secara individual maupun komunal, kota utama harus memberikan kebahagiaan bagi penghuninya. Pemimpin dalam kota ini memiliki tugas untuk membimbing dan menunjukkan warganya pada kebahagiaan itu
.
b)      Negara Orang-orang Bodoh (Al-Madinah Al-Jahiliyah):
      negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.Negara jahiliyah yang merupakan lawan bagi Negara utama, yang dimaksud disini adalah Negara yang warganya tidak mengetahui kebahagiaan yang sebenarnya, karena mengartikan kebahagiaan dengan segala hal yang secara superficial dianggap baik dan merupakan tujuan dari pada hidup itu sendiri seperti kesenangan, kemakmuran, kesehatan tubuh, kebebasan memenuhi hasrat, dll.Al-Farabi membagi Negara jahiliyah menjadi enam bagian:
      pertama, Negara kebutuhan dasar, Negara yang menganggap kebutuhan dasar manusia adalah suatu kebahagian, bagi mereka orang yang mampu menguasai menejemen untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan adalah orang yang pantas dijadikan pemimpin. Singkatnya Negara ini mengartikan kebahagian dengan terpenuhinya segala kebutuhan yang cenderung material.
      Kedua, Negara jahat yaitu Negara kebutuhan dasar dalam tingkat ekstrim, bagi penduduknya kebahagiaan hanya merupakan hal-hal yang material.
      Ketiga, Negara rendah yaitu kata yang para penduduknya hanya menuntuk kesenangan-kesenangan belaka yang sekedar berguna bagi kebutuhan hidup.
      Keempat, Negara kehormatan yaitu Negara yang hanya memprioritaskan kehormatan dan pujian belaka dari bangsa-bangsa lain yang tujuannya tak lain hanya ingin mendapatkan sanjungan belaka.
      Kelima, Negara kekuasaan yaitu Negara yang haus akan kekuasaan yang mengartikan kebahagiaan dengan menguasai Negara-Negara selainnya.
      Yang Keenam adalah Negara demokratik, Negara yang tujuan hidupnya adalah kebebasan, yang penduduk boleh melakukan segala hal tanpa sedikitpun dikekang kehendaknya.
c)      Negara Orang-orang Fasik (al-madinah al-fasiqah)
      negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negara orang-orang bodoh.
      Dalam kata lain Negara fasiq yaitu Negara yang pada dasarnya mengetahui pengetahuan, kebahagian sejati, terdidik dsb, akan tetapi mereka tidak berbuat sesuai dengan apa yang diketahuinya dan diyakininya sebaliknya mereka malah menghendaki kebahagiaan dengan meraih kebutuhan-kebutuhan seperti Negara jahiliyah.
d)      Negara yang Berubah-ubah (Al-Madinah Al-Mutabaddilah):
      pada awalnya penduduk negara ini memiliki pemikiran dan pendapat seperti penduduk negara utama, namun kemudian mengalami kerusakan.
e)      Negara Sesat (Al-Madinah Ad-dallah):
      negara yang dipimpin oleh orang yang menganggap dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatannya.  



      
BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
      Di zaman moderen sekarang para penguasa tidak ada yang mengklaim dirinya tuhan, tetapi tuntutan-tuntutan mereka tidak ubahnya dengan tuntutan-tuntutan Tuhan,yaitu kemutlakan kekuasaan atas rakyat yang diperintah. Mungkin hal inilah yang patut untuk kita sebagai penerus bangsa sebagai calon-calon intelek untuk meresapi kemiskinan moral yang dihadapi bangsa ini.
Dari lima negara yang disimpulkan oleh Al Farabi di atas entah bangsa ini dapat no berapa,tentunya setiap orang mempunyai nilai sendiri-sendiri.
Umat islam ini jatuh di mulai sejak ditinggalkannya sistem khalifah dan dipakainya sistem mulk, atau juga demokrasi.
Al madudi berkata dalam konsep negaranya “kedaulatan (souverenitas) ada ditangan Tuhan ‘bukan’ ditangan manusia.seperti yang digadang-gadang dinegara demokrasi. Dan mungkin inilah yang disampaikan oleh Al Farabi sebagai filosof “ KEMBALI KEPADA HUKUM ALLAH”  
Semoga dengan makalah ini kita dapatkan ibrah yang dapat merubah sudut pandang hidup yang lebih baik. Amiinn...





DAFTAR PUSTAKA

Drs. Imam Sukardi.2005.Etape-Etape Sufistik filosofis Meniti Revolusi Hidup.Pustaka pelajar,Yogyakarta.
Prof.Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A. 2007.Filsafat Islam (filosof dan filsafatnya). PT Rajagrafindo Persada. Jakarta.
Yamani,2002 Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan



[1]  Prof.Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A. Filsafat Islam (filosof dan filsafatnya). PT Rajagrafindo Persada. Jakarta.2007.hal 65-66
[2] Drs. Imam Sukardi,Etape-Etape Sufistik filosofis Meniti Revolusi Hidup.Pustaka pelajar,Yogyakarta.2005 hal 7-8
[3]  Idem hal 17
[4] Drs. Imam Sukardi,Etape-Etape Sufistik filosofis Meniti Revolusi Hidup.Pustaka pelajar,Yogyakarta.2005
[5] idem
[6] Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan, 2002
[7] Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan, 2002 hal 61
[8] Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan, 2002 hal 62







No comments:

Post a Comment