BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah membuktikan bahwa
Ilmuwan muslim pada era klasik telah banyak menulis dan mengkaji ekonomi Islam
tidak saja secara normatif, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan
metodologi yang sistematis, seperti buku Ibnu Khaldun (1332-1406) dan Ibnu
Taymiyah, bahkan Al-Ghazali (w.1111) Al-Maqrizi. Selain itu masih banyak
ditemukan buku-buku yang khusus membahas bagian tertentu dari ekonomi Islam,
seperti, Kitab Al-Kharaj karangan Abu Yusuf (w.182 H/798 M), Kitab Al-Kharaj
karangan Yahya bin Adam (.w.203 H), Kitab Al-Kharaj karangan Ahmad bin Hanbal
(w.221 M), Kitab Al-Amwal karangan Abu ’Ubaid ( w.224 H ), Al-Iktisab fi al
Rizqi, oleh Muhammad Hasan Asy-Syabany. (w.234 H).
Perkembangan Pemikiran
Ekonomi Islam Pemikiran Ekonomi Islam diawali sejak periode Muhammad SAW
ditunjuk sebagai seorang Rasul. Nabi Muhammad mengeluarkan sejumlah kebijakan
yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan,
selain masalah hukum (fiqih), politik (siyasah), juga masalah perniagaan atau
ekonomi (muamalah). Masalah-masalah ekonomi umat menjadi perhatian Nabi, karena
masalah ekonomi merupakan pilar penyangga keimanan yang harus diperhatikan.
Selanjutnya, kebijakan-kebijakan Nabi dijadikan pedoman oleh para generasi penerusnya
dengan tetap berlandaskan pada Al-Quran. Hingga terdapat beberapa tokoh
terkemuka Islam yang sangat besar sumbangannya dalam perkembangan ekonomi Islam
di periode awal kejayaan Islam. Pemikiran dari para tokoh-tokoh ini sangatlah
berharga dan perlu dikaji di era modern sekarang ini.
B. Rumusan Masalah
a.
Siapa saja tokoh pemikir
ekonomi Islam di abad ke-3 dan 4 H?
b.
Bagaimana pemikiran ekonomi Islam yang dikemukakan oleh
para tokoh tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tokoh Pemikir Ekonomi
Islam Abad III H / 9 M
1.
AHMAD BIN HANBAL (164-241 H)
a.
Riwayat Hidup
Beliau
adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris
bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin
Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu
dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan
nabi Ibrahim.
Beliau
lahir di Baghdad tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal - menurut pendapat yang paling masyhur- tahun
164 H. Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai
seorang anak yatim. Ibu beliau berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan
beliau. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam
Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi.
Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan
kemuliaan. Beliau wafat pada tahun 241 H.
b.
Karya
Beliau
Semasa
hidupnya beliau menyibukkan diri untuk mencari ilmu, memberi fatwa dan
pencatatan hadits. Orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah
Al-Qadhi Abu Yusuf, murid / rekan Imam Abu Hanifah. Beliau banyak mengambil
hadits dan faedah ilmu dari Imam Syafi‘i. Imam Syafi’i sendiri amat memuliakan
diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan
sebuah hadits. Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, Al-Musnad, dalam
jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak pertama
kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang
an-nasikh dan Al-Mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar
dalam Al-Qur’an, tentang jawaban-jawaban dalam Al-Qur’an.
Kitab-kitab
yang beliau susun diantaranya adalah kitab al-Manasik ash-Shagir dan al-Kabir,
kitab az-Zuhud, kitab ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-Zindiqah
(Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah,
kitab al-Wara‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah,
satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
c.
Pemikiran
Ekonomi Islam
Abu
Zahra menyampaikan pandangan Imam Ahmad yang mewakili pendekatan Islam dalam
memenangkan persaingan yang adil di dalam pasar. Imam Ahmad mencela seorang
penjual yang menurunkan harga barang untuk mencegah orang lain membeli barang
yang sama pada pesaingnya. Seorang penjual yang menurunkan harga akan
memonopoli komoditi tersebut dan jika persaingan sudah tidak ada, dia bisa
mengatur harga sesukanya. Sehingga penguasa harus lebih berhati-hati dalam
mengambil keputusan. Imam Ahmad menginginkan agar hukum menangani kasus-kasus
demikian untuk mencegah monopoli dan praktek yang tidak menyenangkan lainnya.
Pemikiran
lainnya yaitu mengakui kebebasan maksimal dalam kontrak dan perusahaan. Imam
Ahmad membolehkan syarat-syarat ke dalam kontrak-kontrak yang sekolah hukum
Islam lainnya pada masanya tidak mengijinkan. Beliau merasa bebas menggunakan
konsep maslaha terhadap masalah-masalah yang tidak ada tuntunan. Metodenya
lebih menarik untuk mempromosikan kepentingan kaum lemah dan miskin.
Beliau
juga mewajibkan para pemilik rumah untuk menyediakan penampungan bagi mereka
yang tidak memiliki tempat beristirahat.
2.
Yahya Bin Umar (213-289 H)
a.
Riwayat Hidup
Yahya bin Umar
merupakan salah satu fuqaha mazhab Maliki. Ulama yang bernama lengkap Abu Bakar
Yahya bin Umar bin Yusuf Al Kannani Al Andalusi ini lahir pada tahun 213 H. dan
dibesarkan di Kordova, Spanyol. Seperti para cendekiawan terdahulu, ia
berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu. Akhirnya, Yahya bin Umar
menetap di Qairuwan, Afrika, dan menyempurnakan pendidikannya kepada seorang
ahli ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman
Al-Farisi.
Dalam perkembangan selanjutnya, ia menjadi
pengajar di Jami’ Al-Qairuwan. Beliau kemudian berpindah ke Sausah serta mengajar di Jami’ Al-Sabt hingga
akhir hayatnya. Yahya bin Umar wafat pada tahun 289 H. (901 M.).
b.
Karya Beliau
Semasa hidupnya, di
samping aktif mengajar, Yahya bin Umar juga banyak menghasilkan karya tulis
hingga mencapai 40 juz. Di anatara beberapa karyanya yang terkenal adalah kitab
al-Muntakhabah fi Ikhtishar al Mustakhrijah fi al fiqh al Maliki dan kitab
Ahkam al Suq.
Kitab Ahkam Al Suq ini
merupakan kitab pertama di Dunia Islam yang khusus membahas hisbah dan berbagai
hukum pasar, satu penyajian materi yang berbeda dari pembahasan–pembahasan fiqh
pada umumnya, salah satu hal yang memengaruhinya adalah situasi kota Qairuwan.
Pada saat itu, kota tersebut telah memiliki institusi pasar yang permanen sejak
tahun 155 H. dan para penguasanya, mulai dari masa Yazid bin Hatim Al Muhibli
hingga sebelum masa Ja’far al Manshur, sangat memerhatikan keberadaan institusi
pasar. Dengan demikian, pada masa Yahya bin Umar, kota
Qairuwan telah memiliki dua keistimawaan, yaitu:
a.
Keberadaan
institusi pasar mendapat perhatian khusus dan pengaturan yang memadai dari para
penguasa.
b.
Dalam
lembaga peradilan, terdapat seorang hakim yang khusus menangani berbagai permasalahan
pasar.
Tentang kitab Ahkam Al
Suq, Yahya bin Umar menyebutkan bahwa penulisan kitab ini dilatarbelakangi oleh
dua persoalan mendasar, yaitu:
1) Pertama, hukum syara’ tentang
perbedaan kesatuan timbangan dan takaran perdagangan dalam satu wilayah.
2) Kedua, hukum syara’ tentang
harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuaan liberalisasi harga,
sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudaratan bagi para konsumen. Dengan demikian, kitab Ahkam Al Suq
sebenarnya merupakan penjelasan dari jawaban kedua persoalan tersebut.
Dalam membahas kedua
persoalan itu, yahya bin umar menjelaskan secara komprehensif yang disertai
dengan diskusi panjang, Sebelum menjawabnya, ia menulis mukaddimah
secara terperinci tentang berbagai tanggung jawab pemerintah, seperti kewajiban
melakukan inspeksi pasar, mengontrol dan takaran, serta mengungkapkan perihal
mata uang. Yahya
bin umar diyakini mengajarkan kitab tersebut untuk pertama kalinya di kota
Sausah pada masa pasca konflik.
b.
Pemikiran Ekonomi Islam
Menurut
Yahya bin Umar, aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
ketakwaan seorang muslim kepada Allah SWT. Hal ini berarti bahwa ketakwaan
merupakan asas dalam perekonomian Islam, sekaligus faktor utama yang membedakan
ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Oleh karena itu, di samping Al
Qur’an, setiap muslim harus berpegang teguh pada sunnah dan mengikuti seluruh
perintah Nabi Muhammad saw. dalam melakukan setiap aktivitas ekonominya.
Penekanan
pemikiran ekonomi Yahya bin Umar adalah pada masalah Penetapan Harga (Al-Tas’ir).
Ia berpendapat bahwa penetapan harga tidak boleh dilakukan. Hujjahnya adalah
mengenai kisah para sahabat yang meminta Rasulullah untuk menetapkan harga
karena melonjaknya harga barang namun ditolak oleh Rasulullah dengan alasan
Allah-lah yang mengusai harga. Dalam konteks ini, penetapan harga yang dilarang oleh
Yahya bin Umar adalah kenaikan harga karena interaksi permintaan dan penawaran.
Namun jika harga melonjak karena kesalahan manusia maka pemerintah
mempunyai hak intervensi untuk kesejahteraan masyarakat.
Lebih luas lagi
mengenai larangan penetapan harga, Yahya bin Umar mengijinkan pemerintah
melakukan intervensi apabila :
1) Para pedagang tidak
memperdagangkan barang dagangan yang dibutuhkan masyarakat sehingga dapat
merusak mekanisme pasar. Dalam hal ini, pemerintah dapat
mengeluarkan para pedagang tersebut dari pasar serta menggantikannya dengan
para pedagang yang lain berdasarkan kemaslahatan dan kemanfaatan umum.
2) Para pedagang melakukan
praktik Siyasah Al-Ighraq atau banting harga (Dumping) yang dapat
menimbulkan persaingan tidak sehat dan dapat mengacaukan stabilitas harga.
Dalam hal ini, pemerintah berhak memerintahkan para pedagang tersebut untuk
menaikkan kembali harganya sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Apabila
mereka menolaknya, pemerintah berhak mengusir para pedagang tersebut dari
pasar.
c.
Pemikiran Ekonomi Modern
Sekalipun
tema utama yang diangkat dalam kitabnya, Ahkam Al Suq, adalah mengenai
hukum-hukum pasar, pada dasarnya, konsep Yahya bin Umar lebih banyak terkait
dengan permasalahan Ihtikar dan Siyasah Al Ighraq. Dalam ilmu ekonomi
kontemporer, kedua hal tersebut masing-masing dikenal dengan istilah Monopoly’s
Rent-Seeking dan Dumping.
Berikut adalah wawasan
modern Yahya bin Umar yang dikemukakan pada masanya.
1)
Ihtikar (Monopoly’s Rent-Seeking)
Islam secara tegas
melarang praktek Ihtikar, yakni mengambil keuntungan di atas keuntungan
normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.
Berdasarkan hukum ekonomi, maka: ”Semakin sedikit persediaan barang di pasar,
maka harga barang semakin naik dan permintaan terhadap barang semakin
berkurang.” Tentang Ihtikar, Yahya bin Umar
menyatakan bahwa timbulnya kemudaratan terhadap masyarakat merupakan syarat
pelarangan penimbunan barang. Apabila hal tersebut terjadi, barang dagangan
hasil timbunan tersebut harus dijual dan keuntungan dari hasil penjualan ini
disedekahkan sebagai pendidikan terhadap para pelaku Ihtikar.
Para ulama sepakat
bahwa pengharaman Ihtikar adalah karena dapat menimbulkan kemudharatan bagi manusia.
Sedangkan kemudlaratan merupakan sesuatu yang harus dihilangkan. Implikasi
lebih jauh, Ihtikar tidak hanya akan merusak mekanisme
pasar, tetapi juga akan menghentikan keuntungan yang akan diperoleh orang lain
dan dapat menghambat proses distribusi kekayaan di antara manusia, sebab
konsumen masih harus membayar harga produk yang lebih tinggi dari ongkos
marjinal. Dengan demikian praktek Ihtikar akan menghambat kesejahteraan umat manusia. Sebuah aktivitas ekonomi
baru akan dapat dikatakan sebagai Ihtikar jika memenuhi setidaknya dua syarat berikut:
a) Pertama, objek penimbunan
merupakan barang-barang kebutuhan masyarakat.
b) Kedua, tujuan penimbunan
adalah untuk meraih keuntungan di atas keuntungan normal.
2)
Siyasah Al-Ighraq (Dumping
Policy)
Siyasah Al-Ighraq (dumping)
adalah sebuah aktivitas perdagangan yang bertujuan untuk mencari keuntungan
dengan jalan menjual barang pada tingkat harga yang lebih rendah dari harga
yang berlaku di pasaran. Perilaku seperti ini secara tegas dilarang oleh agama
karena dapat menimbulkan kemudlaratan bagi masyarakat. Siyasah Al-Ighraq dilakukan
oleh seseorang dengan maksud agar para saingan dagangnya mengalami
kebangkrutan. Dengan demikian ia akan leluasa menentukan harga di pasar.
Siyasah Al Ighraq atau banting harga dapat menimbulkan persaingan
yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga di pasar.
Dalam kondisi seperti
ini pemerintah mempunyai otoritas untuk memerintahkan para pedagang tersebut
agar menaikkan kembali harga barang sesuai dengan harga yang berlaku di pasar.
Apabila mereka tidak mau mentaati aturan pemerintah, maka pemerintah berhak
mengusir para pedagang tersebut dari pasar. Hal ini pernah dipraktekkan
Khalifah Umar bin Khattab, ketika mendapati seorang pedang kismis yang menjual
barang dagangannya di bawah standart harga di pasar. Maka Khalifah Umar bin
Khattab memberikan pilihan kepada pedagang tersebut; menaikkan harga sesuai
dengan harga standart di pasar atau keluar dari pasar.
B.
Tokoh Pemikir Ekonomi Islam Abad IV H / 10 M
1.
Junaidi Al-Baghdadi (297 H / 910)
a.
Riwayat Hidup
Beliau memiliki nama Abul
Qasim Al-Junaidi ibnu Muhammad Al-Zujaj atau dikenal dengan Junaidi al-Baghdadi. Beliau
adalah putra dari seorang pedagang barang pecah belah (kaca) dari Nahawand dan
keponakan dari Sarri As-Saqathi, ia juga dekat dengan Al-Muhasibi. Junaidi
Al-Baghdadi dikenal sebagai tokoh paling terkemuka dari mazhab Tasawuf, beliau
juga dikenal sebagai seorang mufti dalam mazhab Abu Tsaur, salah satu murid
Imam Syafi’i, sehingga ia dikenal dengan julukan Sayyidush Shufiyah (Pangeran
kaum sufi).
Masa kecil Junaidi
Al-Baghdadi telah memiliki kedalaman sepiritual, ia telah menjadi seorang
pencari tuhan yang bersungguh-sungguh, sangat disiplin, bijaksana, cepat
mengerti dan memiliki intuisi yang tajam. Junaidi Al-Baghdadi tutup usia pada tahun 297 H/910 M di
kota Baghdad.
b.
Pemikiran Ekonomi Islam
Disebutkan bahwa saat
kecil beliau telah memiliki pandangan terkait permasalahan ekonomi. Ini
dibuktikan pada saat beliau menyikapi masalah yang dihadapi oleh ayahnya,
dimana ayahnya bersedih karena sedekah yang akan diberikan kepada pamannya
ditolaknya. Menyikapi hal ini Junaidi Al-Baghdadi meminta ayahnya untuk
menyerahkan harta yang akan disedekahkan kepada pamanya, dan diapun pergi
menemui pamannya dirumahnya.
Junaidi al-Baghdadi
berkata pada pamannya “Aku mohon, terimalah ini, demi Allah yang telah begitu
dermawan padamu dan telah begitu adil pada ayahku.” Pamannya Junaidi
al-Baghdadi bertanya kembali “Apa maksudmu Junaidi?”, Junaidi al-Baghdadi
menjawab “Allah begitu dermawan padamu karena dia menganugerahimu kemiskinan. Sedangkan kepada ayahku, Allah telah begitu
adil dengan menyibukannya dengan urusan-urusan dunia. Engkau memiliki kebebasan
untuk menerima atau menolak sekehendak hatimu. Sedangkan ayahku, suka atau
tidak, harus menyampaikan sedekah yang dititipkan Allah padanya kepada orang
yang berhak”, Mendengar
perkataan itu pamannya menerima
sedekah dari ayahnya tersebut.
Pemikiran ekonomi dari
Junaidi al-Baghdadi tidak lepas dari konsep maslahah (utility) dan mafsadah
(disutility), dalam hal ini Ia meyakini bahwasanya ilmu tassawuf banyak
mendidik prilaku terhadap inidividu dan menghasilkan pasar yang adil. Beliau
menegaskan penerapan nilai sufi banyak meletakan pasaran dalam kerendahan dan
nilai usaha yang bertujuan dunia dan akhirat serta merlandaskan syari’ah.
Junaidi al-Baghdadi dalam
pemikiran ekonominya menyikapi soal pemanfaatan kepemilikan individu. Kutipan
perkataan beliau soal definisi syukur, yaitu “Syukur berarti engkau tidak
bermaksiat kepada Allah dengan menggunakan karunia yang telah Dia anugrahkan
kepadamu, juga tidak menjadikan karunia-Nya sebagai sumber ketidak taatan
pada-Nya”. Dalam hal ini setiap muslim mencari hartanya dalam kasab, baik itu
bisnis ataupun bekerja, setelah mereka mendapatkan hal tersebut maka hukum
pengendalian terhadap pembelanjaan hartapun berlaku, apakah harta yang telah
diperolehnya dibelanjakan secara benar sesuai syari’ah atau tidak. Dan apakah
mereka termasuk pada golongan orang-orang yang bersyukur atau tidak. Sehingga dalam hal ini perilaku konsumen untuk membelanjakan hartanya yang
sesuai dengan apa yang telah Allah SWT kehendaki.
2.
Al-Mawardi (364-450 H / 974-1058)
a.
Riwayat Hidup
Abu
Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Basri Al-Syafi’i lahir di
kota Basrah pada tahun 364 H (974 M). Setelah mengawali pendidikannya di kota
Basrah dah Baghdad selama dua tahun, ia mengelana ke berbagai negeri Islam
untuk menuntut ilmu. Berkat keleluasaanya ilmunya, salah satu tokoh besar
mazhab Syafi’i ini dipercaya memangku memangku jabatan qhadi (hakim)
diberbagai negri secara bergantian. Setelah itu Al-Mawardi kembali ke kota
Baghdad untuk beberapa waktu kemdian diangkat sebagai Hakim Agung pada masa
pemerintahan Khalifah Al-Qaim bin Amrillah Al-Abbasi.
Sekalipun
telah menjadi hakim, Al-Mawardi tetap aktif mengajar dan menulis. Dengan
mewariskan dengan bebagai karya tulis yang sangat berharga tersebut, Al-Mawardi
meninggal dunia pada bulan Rabiul Awwal tahun 450 H (1058 M) di kota Baghdad
pada usia 86 tahun.
b.
Karya Beliau
Pada
dasarnya, pemikiran ekonomi Al-Mawardi tersebar paling tidak pada tiga buah
karya tulisnya, yaitu Kitab adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Hawi dan
al-Ahkam as-Sulthainiyah. Dalam kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din. Dari ketiga
karya tilis tersebut, para peneliti Islam tampaknya sepakat menyatakan bahwa al-Ahkam
as-Sultaniyyah merupakan kitab yang paling komprehensif dalam
mempresentasikan pokok-pokok pemikiran ekonomi Al-Mawardi. Sumbangan utama Al-Mawardi
terlatak pada pendapat mereka tentang pembebanan pajak tambahan dan dibolehkannya
peminjaman publik.
c.
Pemikiran Ekonomi Islam
Adapun
pemikiran ekonomi Islam beliau ini diantaranya berbicara mengenai negara dan
aktivitas ekonomi, perpajakan serta baitul mal.
1)
Negara dan Aktivitas Ekonomi
Teori keuangan pulik selalu
terkait dengan peran negara dalam kehidupan ekonomi. Negara membutuhkan karena
dibutuhkan karena beroeran untuk memenuhi kebutuhan kolektif seluruh warga
negaranya. Selanjutnya, Al-Mawardi berpendapat bahwa negara harus menyadiakan
infrastruktur yang diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum.
Lebih jauh, ia menyebutkan tugas-tugas negara dalam kerangka pemenuhan
kebutuhan dasar setiap warga sebagai berikut:
a)
Melindungi
agama
b)
Menegakan
hukum dan stabilitas
c)
Memelihara
batas negara islam
d)
Menyediakan
iklim
ekonomi yang kondusif
e)
Menyediakan
administrasi publik, peradilan, dan pelaksanaan hukum islam
f)
Mengumpulkan pendapat dari berbagai
sumber yang tersedi serta menaikanya dengan menerapkan pajak baru jika situasi
menuntutnya,
g)
Membelanjakan dana-dana Baitul Mal
untuk berbagai tujuan yang telah menjadi kewajibanya
Seperti yang telah
disebutkan, negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga
negara serta merealisasikanya kesejahteraan dan perkembangan ekonomi secara
umum.
2)
Perpajakan
Sebagai trend pada
masa klasik, masalah perpajakan juga tidak luput dari perhatian Al-Mawardi. Maenurutnya
penilaian atas kharaj
harus bervariasi sesuai dengan faktor-faktor yang menentukan kemampuan tanah
dalam membayar pajak, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman dan sistem
irigasi. Disamping ketiga faktor tersebut beliau juga mengungkapkan faktor yamg lain, yaitu jarak antara
tanah yang menjadi objek kharaj dengan pasar.
Tentang metode penetapan
kharaj, Al-Mawardi menyarankan untuk menggunakan salah satu dari ketiga metode
yang pernah diterpkan dalam sejarah islam yaitu:
a)
Metode
Misahah,
yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah
b)
Metode
penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja
c)
Metode
Musaqah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan persentase dari hasil
produksi (proportional tax).
3)
Baitul Mal
Al-Mawardi menegaskan, adalah
tanggung jawab Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan publik. Ia
mengklasifikasikan berbagai tanggung jawab Baitul Mal kedalam dua hal yaitu:
a)
Tanggung
jawab yang timbul dari berbagai harta benda yang disimpan di Baitul Mal sebagai
amanah didistribusikan kepada mereka yang berhak, dan
b)
Tanggung
jawab yang timbul seiring dengan adanya pendapatan yang menjadi aset kekayaan
Baitul Mal itu sendiri.
Al-Mawardi menklasifikasikan
kategori tanggung jawab Baitul Mal yang kedua ini menjadi dua hal. Pertama,
tanggung jawab yang timbul sebagai pangganti atas nilai yang diterima (badal). Kedua,tanggung jawab yang muncul
melalui bantuan dan kepentingan umum. Dengan demikian, menurut Al-Mawardi, pembelanjaan publik,
seperti halnya perpajakan, merupakan alat yang efektif untuk mengalihkan
sumber-sumber ekonomi. Pernyataan Al-Mawardi tersebut juga mengisyaratkan
bahwa pembelanjaan publik akan meningkatkan pendapatan masyarakat secara
keseluruhan.
BAB III
PENUTUP
Perkembangan Islam pada
masa-masa awal menuju kejayaannya, ternyata bukan hanya berupa perkebangan
politik dan militer saja melainkan perkembangan ekonomi juga memainkan peranan
yang penting dalam menopang peradaban Islam. Perkembangan ekonomi Islam ini bersumber
dari pemikiran serta kebijakan para tokoh dan ulama Islam yang dimulai dari
generasi Rasul dan para sahabat dan kemudian para tabi’in dan tabiut tabi’in
hingga kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah dan Utsmani.
Para pemikir ekonomi Islam
di masa klasik memberikan sumbangan pemikiran yang sangat berharga bagi
perkembangan Islam di masanya dalam rangka mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan dalam masyarakat. Di abad pertama hijriah, terdapat tokoh pemikir
Islam diantaranya Imam Abu Hanifa, Al-Awza’i dan Imam Malik. Kemudian di abad
kedua hijriah muncul tokoh seperti Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan Al Shabani,
dan Imam Syafi’i. Sedangkan di abad ketiga terdapat tokoh seperti Yahya bin
Adam Al Qarashi, Abu Ubaid Al Qasim bin Salam, Imam Ahmad dan Yahya bin Umar serta
Junaidi Al-Baghdadi serta Al-Mawardi di abad selanjutnya.
Pemikiran Imam Ahmad
terutama berkaitan dengan persaingan yang adil di dalam
pasar supaya tidak terjadi monopoli dan praktek yang tidak menyenangkan
lainnya.
Pemikiran
Yahya bin Umar tertuang dalam kitabnya yaitu kitab Ahkam Al Suq. Kitab
yang khusus membahas hisbah dan berbagai hukum pasar. Banyak gagasan dari
pemikiran Yahya bin Umar terkait bidang ekonomi Islam karena situasi pasar yang
beliau hadapi. Penekanan pemikiran ekonomi Yahya
bin Umar adalah pada masalah penetapan harga,
ihtikar dan siyasah al ighrah.
Pada
abad keempat hijriah, terdapat tokoh ekonomi Islam seperti Junaidi Al Baghdadi.
Pemikiran ekonomi beliau belum banyak dikaji selain ilmu tasawufnya sehingga
masih sedikit referensi yang ada. Diantara pemikiran ekonomi dari
adalah tidak lepas dari konsep maslahah (utility) dan mafsadah (disutility).
Al Mawardi yang merupakan
salah satu tokoh besar madzhab Syafi’i juga memberikan kontribusi pemikiran
dalam ekonomi Islam. Pemikiran ekonomi beliau dapat dikaji dari karyanya
seperti Kitab adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Hawi dan al-Ahkam
as-Sulthainiyah. Dalam kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din. Adapun pemikiran
ekonomi Islam beliau ini diantaranya berbicara mengenai negara dan aktivitas
ekonomi, perpajakan serta baitul mal.
DAFTAR
PUSTAKA
Karim, Abdurrahman.
2012. Sejarah Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Karim,
Adiwarman. 2002. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: IIIT.
No comments:
Post a Comment