Wednesday 24 August 2016

Makalah Hukum Perizinan “Hubungan IMB dengan Penataan Ruang Kota”


 Hubungan IMB dengan Penataan Ruang Kota
1.      Perizinan di Bidang Bangunan (Gambaran Umum Perizinan Bangunan)

            Fungsi bangunan sebagai tempat segala aktivitas manusia, mulai dari aktivitas perekonomian, kebudayaan, sosial, dan pendidikan terkait dengan fungsi pemerintah daerah sebagai “agent of development, agent of change, agent of regulation”.
            Dalam fungsinya tersebut, pemerintah daerah berkepentingan terhadap izin-izin bangunan. Perizinan bengunan diberlakukan agar tidak terjadi kekacau-balauan dalam penataan ruang kota, dan merupakan bentuk pengendalian pembangunan ruang kota.

            Tentang perlunya izin bangunan, ini akan nampak manakala kita melihat kota-kota besar. Kota besar seperti Jakarta dan sebagainya mengalami pertumbuhan yang sangat cepat dan akan terus berlanjut dari tahun ketahun. Kebutuhan akan perumahan (mulai rumah perumahan sederhana, rumah susun, apartemen, dan real estate), perkantoran, pertokoan, mall, dan tempat-tempat hiburan (hotel, diskotek), tempat pendidikan  dan bangunan lainnya semakin tinggi sebagai akibat pertambahan penduduk dan kebutuhannya.
            Pembangunan di bidang real estate, industrial estate, shopping centre, dan sebagianya, saat ini diperlukan pengaturan dalam rangka pengendalian dampak pembangunan, yang meliputi dampak  lingkungan, impact fee dan  traffic Impact Assement.
            Impact fee, adalah biaya yang harus dibayar oleh pengembang kepada pemerintah kota akibat dari pembangunan yang mereka laksanakan. Pelaksanaan pembangunan oleh pengembang akan mengakibatkan biaya infrastruktur bagi pemerintah kota , karena seluruh jaringan infrastruktur yang dibangun akan disambung dengan system jaringan kota, yang pada gilirannya akan menuntut peningkatan kapasitas.
            traffic Impact Assement , yaitu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengembang untuk malakukan kajian analisis tentang dampak lalu lintas. Kajian tersebut harus dapat menggambarkan kinerja jaringan jalan sebelum dan stelah ada pembangunan, dampaknya dan bagaimana mengatasinya. (Ismail Zuber, 2000, hal. 12)


2.      Pembangunan  Gedung dan Hubungannya dengan Perizinan

            Bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, dalam pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada peraturan penataan ruang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung, setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administrative dan teknis bangunan gedung, serta harus diselenggarakan secara tertib dan teratur.
            Dalam hal ini pemerintah telah mengatur dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002, tentang Bangunan Gedung. Undang-undang ini mengatur fungsi bangunan gedung, persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan gedung, termasuk hak dan kewajiban pemilik dan pengguna bangunan gedung pada setiap tahap penyelenggaraan bangunan gedung, ketentuan tentang peran masyarakat dan pembinaan oleh pemerintah, dan sanksinya.
            Seluruh maksud dan tujuan pengaturan dalam undang-undang diatas dilandasi oleh azas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya, bagi kepentingan masyarakat yang berperikemanusiaan dan berperikeadilan.
     Dengan diberlakukannya undang-undang ini, semua penyelenggaraan bangunan gedung, baik pembangunan maupun pemanfaatan, yang dilakukan di wilayah negara Republik Indonesia, yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, masyarakat, dan oleh fihak asing, wajib mematuhi seluruh ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Bangunan Gedung. (Adrian Sutedi, SH.,MH. Hal. 225).
            Di dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, telah ditentukan persyaratan administrasi bangunan gedung, yaitu :
a.     status hak atas tanah dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah ;
b.     status kepemilikan bangunan gedung ;
c.     izin mendirikan bangunan gedung;
d.    kepemilikan, dan pendataan bangunan gedung.
            Menyangkut dengan pembangunan gedung yang dilakukan oleh pengembang haruslah memperhatikan keharmonisan antara bangunan dengan lingkungan sekitarnya. Selain harus memperhatikan keserasian intern, yaitu keserasian antara bahan atap, warna bangunan, jalan masuk, saluran air bersih, air limbah, pelayanan telekomunikasi, pertamanan, penempatan nomor, nama hunian, dan hal-hal lain yang menunjukkan nilai dari komunitas.
            Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pengembang dalam melaksanakan bangunan , antara lain :
a.         Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
b.        Koefisien Luas Bangunan (KLB)
c.         Cadangan untuk Kepentingan Umum (DCKU)
            Untuk lebih jelasnya, masing-masing akan diuraikan sebagai berikut : 
a.     Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
           Koefisien Dasar Bangunan (KDB), menunjukkan luas dasar (footprint) bangunan maksimum yang boleh dibangun dibanding luas kavling. KDB tidak boleh melebihi rasio maksimum yang diperbolehkan seperti terlihat pada gambar kadaster yang terlampir dalam PPJD. Persentase KDB berbeda menurut lokasi, luas dan bentuk kavling akan ditentukan dalam Gambar Kadaster oleh Pengembang. 
b.      Koefisien Luas Bangunan (KLB)
  Koefisien Luas Bangunan (KLB) ini menunjukkan luas keseluruhan bangunan yang boleh dibangun disbanding luas tanah. KLB tidak boleh melebihi standar yang ditentukan oleh pengembang, rasio KLB berbeda menurut lokasi, luas dan bentuk kavling.
c.        Cadangan untuk Kepentingan Umum (DCKU)
            Daerah Cadangan untuk Kepentingan Umum (DCKU), adalah daerah dimana pengembang berhak untuk menetapkan jarak maksimum bebas bangunan yang terdapat pada sepanjang batas belakang atau depan sebagai cadangan jalur utilitas.
            Berkaitan dengan hal tersebut beberapa kavling akan mempunyai bak control (Inspection Chamber = IC), yang harus dapat dicapai oleh pengembang dan/ atau pengelola dan/ atau pejabat pemerintah yang berwenang, guna pemeliharaan system tersebut. Apabila system tersebut memerlukan perbaikan, maka pembeli harus mengizinkan pekerja dari instansi-instansi tersebut untuk melakukan perbaikan yang diperlukan. (Adrian Sutedi, SH.,MH. Hal. 227).

3.      Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)

            Pengaturan dalam pemberian izin pendirian dan penggunaan bangunan dilakukan untuk menjamin agar pertumbuhan fisik perkotaan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, tidak menumbulkan kerusakan penataan kota tersebut. Oleh karenanya maka setiap akan membangun harus mengurus dulu Izin Medirikan Bangunan (IMB). Sedangkan pada saat akan menggunakan bangunan juga harus lebih dahulu memperoleh Izin Penggunaan Bangunan (IPB).
            Mengapa  mendirikan bangunan dan menggunakannya itu membutuhkan IMB dan IPB ? Dalam hal ini ada beberapa alasan, yaitu :
a.       Agar tidak menimbulkan gugatan fihak lain setelah bangunan berdiri, untuk itu sebelum mendirikan bangunan harus ada kejelasan status tanah yang bersangkutan.
b.      Lingkungan kota memerlukan penataan dengan baik dan teratur, indah, aman, tertib, dan nyaman. Untuk mencapai tujuan itu penataan dan pelaksanaan pembanguna bangunan di perkotaan harus isesuaikan dengan  Rencana Tata Ruang Kota.
c.       Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) juga dimaksudkan untuk menghindri bahaya secara fisik bagi penggunaan bangunan. Untuk itu dibutuhkan rencana bangunan yang matang dan memenuhi standr/ normalisasi teknis bangunan yang telah diteapkan yang meliputi arsitektur, kontruksi dn intalainya.
d.      Pemantauan terhadap standar/normalisasi teknis banguna melalui izin Penggunaan Bangunan diharapkan dapat mencegah bahaya yang mungkin timbul.
            Tentang pelayanan penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sebenarnya dapat dilakukan dengan pola pelayanan satu atap, yaitu pola pelayanan pemberian izin yang dilakukan secara terpadu pada satu tempat/lokasi oleh beberapa instansi pemerintah yang terlibat dalam proses penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), misalnya Dinas Tata Kota, BPN, Tim arsitektur, dan sebagainya


4.      Pelayanan Izin Membangun Bagi Pemerintah Daerah dalam Era Otonomi Daerah

            Di dalam Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, telah digariskan bahwa keterpaduan sistem penyelenggaraan pelayanan melalui jaringan informasi on-line harus dikembangkan dengan penyediaan data dan informasi sehinga penyelenggaraan pelayanan dapat dilakukan secara tepat, akurat dan aman
            Dalam hal ini ada 4 (empat) kondisi yang memacu arah perbaikan mutu pelayanan masyarakat, yaitu :
a.       Lingkungan yang berkembang dan tuntutan masyarakat juga meningkat seiring dengan kondisi dan kwalitas hidup masyarakat.
b.      Kuatnya sector swasta mencari lokasi tempat usaha (gedung) untuk merebut pangsa pasar di dalam memasarkan produk barang dan jasanya di suatu wilayah.
c.       Perkembangan teknologi yang dapat memeberikan layanan terbaik dengn komunikasi yang lebih luas dan mudah.
d.      Tuntutan masyarakat yang semakin besar untuk memperoleh layanan public yang berkwalitas, efisien dan efektif.
                       Dalam hal ini ada beberapa pemikiran, anatara lain :
a.       Banyaknya rekomendasi dan izin yang harus dipenuhi untuk memperoleh IMB, seperti untuk membangun lokasi saha, maka diperlukan rekomendasi AMDAL, dinad tata ruang dan lain sebagainya.
b.      Belum adanya system pelayanan satu atap secar menyeluruh, baik mengenai personilnya, kantor/tempat pelayanannya, peralatan dan lain sebagainya.

5.      Pembangunan Proyek-Proyek Pemerintah

            Pelaksanaan proyek-proyek pemerintah dilapangan sering berbenturan dengan kepentingan individu dan masyarakat, yang kemudian sampai ke PTUN.
            Yang menjadi persoalan adalah, mungkinkah dilakukan penundaan atas proyek karena menunggu putusan PTUN?, Dapatkah proyek-proyek tersebut dikategorikan kepentingan umum ?. Bagaimana nasib kerugianyang diderita penggugat akibat pelaksanaan proyek tersebut ?.
            Mengingat bahwa proyek-proyek tersebut pendanaannya adalah terkait dengan disiplin anggaran negara, maka jika terjadi penundaan akan berdampak pada perencanaan dan mata anggaran tersebut, apalagi jika tidak selesai tepat waktu, maka anggaran akan hangus. Lalu siapa yang rugi ?. Yang rugi jelas pertama-tama adalah negara, kemudian developer dan yang terakhir adalah masyarakat.

6.      Hubungan dengan Tata Ruang Kota
Penataan ruang menyangkut seluruh aspek kehidupan sehingga masyarakat perlu mendapat akses dalam proses perencanaan penataan ruang. Konsep dasar hukum penataan ruang terdapat dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 aliniea ke-4, yang menyatakan “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia”. Selanjutnya, dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. 
Ketentuan tersebut memberikan “hak penguasaan kepada Negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada Negara untuk menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.” Kalimat tersebut mengandung makna, Negara mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan, mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam guna terlaksananya kesejahteraan yang dikehendaki. Untuk dapat mewujudkan tujuan Negara tersebut, khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti Negara harus dapat melaksanakan pembangunan sebagai penunjang dalam tercapainya tujuan tersebut dengan suatu perencanaan yang cermat dan terarah.    
Apabila kita cermati secara seksama, kekayaan alam yang ada dan dimiliki oleh Negara, yang kesemuanya itu memiliki suatu nilai ekonomis, maka dalam pemanfaatannya harus diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi, sehingga tidak akan adanya perusakan dalam lingkungan hidup. Upaya perencanaan pelaksanaan tata ruang yang bijaksana adalah kunci dalam pelaksanaan tata ruang agar tidak merusak lingkungan hidup, dalam konteks penguasaan Negara atas dasar sumber daya alam, melekat di dalam kewajiban Negara untuk melindungi, melestarikan dan memulihkan lingkungan hidup secara utuh. Artinya, aktivitas pembangunan yang dihasilkan dari perencanaan tata ruang pada umumnya bernuansa pemanfaatan sumber daya alam tanpa merusak lingkungan.
Selanjutnya, dalam mengomentari konsep Roscoe Pound, Mochtar Koesoemaatmadja mengemukakan bahwa hukum haruslah menjadi sarana pembangunan. Disini berarti hukum harus mendorong proses modernisasi. Artinya bahwa hukum yang dibuat haruslah sesuai dengan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 
Sejalan dengan fungsi tersebut, maka pembentuk undang-undang mengenai penataan ruang. Untuk lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang, maka peraturan perundang-undangan telah banyak diterbitkan oleh pihak pemerintah, dimana salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur penataan ruang adalah Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang merupakan undang-undang pokok yang mengatur tentang pelaksanaan penataan ruang.
Sejarah Pengaturan Tata Ruang Di Indonesia Dulu Hingga Sekarang
Peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang (kota) modern di Indonesia telah diperhatikan ketika kota Jayakarta (kemudian menjadi Batavia) dikuasai oleh Belanda pada awal abad ke-7, tetapi peraturan tersebut baru dikembangkan secara insentif pada awal abad ke-20. Peraturan pertama yang dapat dicatat disini adalah De Statuen Van 1642 yang dikeluarkan oleh VOC khusus untuk Kota Batavia. 
Peraturan ini tidak hanya membangun pengaturan jalan, jembatan dan bangunan lainnya, tetapi juga merumuskan wewenang dan tanggung jawab pemerintah kota. Pembangunan peraturan kota mulai diperhatikan lagi setelah Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Undang-Undang Desentralisasi pada tahun 1903 yang mengatur pembentukan pemerintah kota dan daerah. Dimana undang-undang ini memberikan hak kepada kota-kota untuk mempunyai pemerintahan, administrasi dan keuangan kota sendiri. 
Tugas pemerintahan kota diantaranya adalah pembangunan dan pemeliharaan jalan dan saluran air, pemeriksaan bangunan dan perumahan, perbaikan perumahan dan perluasan kota. Berdasarkan undang-undang ini dibentuklah pemerintahan otonom yang disebut Gemeente, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Tak lama kemudian, pada tahun 1905 diterbitkan Localen-Raden Ordonantie, Stb 1905/191 Tahun 1905 yang antara lain berisi pemberian wewenang pada pemerintahan kota untuk menentukan prasyarat persoalan pembangunan kota. 
Karena mengalami beberapa persoalan mengenai pembentukan kota, pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda menyadari perlunya perencanaan kota yang menyeluruh. Hal inilah yang memicu dimulainya pengembangan perencanaan kota di Indonesia, meskipun pada saat itu belum ada peraturan pemerintah yang seragam.
Peraturan pembangunan kota tidak dapat dipisahkan dengan usaha-usaha Thomas Karsten, yang dalam kegiatannya dari tahun 1902 sampai dengan 1940 telah menghasilkan dasar-dasar yang kokoh bagi perkembangan peraturan pembangunan kota yang menyeluruh, antara lain untuk penyusunan rencana umum, rencana detail, dan peraturan bangunan. Laporan Thomas Karsten  mengenai pembangunan kota Hindia Belanda yang diajukan pada kongres desentralisasi pada tahun 1920 tidak hanya berisikan konsep dasar pembangunan kota dan peran pemerintah kota, tetapi juga merupakan petunjuk praktis yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk penyusunan berbagai jenis rencana.
Peraturan yang penting bagi perencanaan kota yang disahkan pada tahun 1926 adalah Bijblad, di mana peraturan ini yang menjadi dasar kegiatan perencanaan kota sebelum perang kemerdekaan. Kemudian dilanjutkan pada tahun 1933, kongres desentralisasi di Indonesia meminta pemerintahan Hindia Belanda untuk memusatkan persiapan peraturan perencanaan kota tingkat pusat. Menyusul permintaan ini, dibentuklah suatu Panitia Perencanaan Kota pada tahun 1934 untuk menyiapkan peraturan perencanaan kota sebagai pengganti Bijblad. 
Pada tahun 1939 pemerintah Hindia Belanda menyusun RUU Perencanaan Wilayah perkotaan di Jawa yang berisikan persyaratan pembangunan kota untuk mengatur kawasan-kawasan perumahan, transportasi, tempat kerja dan rekreasi.
Masuknya Jepang ke Indonesia dan adanya perang kemerdekaan  Indonesia menyebabkan RUU Perencanaan Wilayah Perkotaan di Jawa baru disahkan pada tahun 1948 dengan nama Stadsvorming Ordonantie, Stb 1948/168 (SVO, atau Ordonansi Pembentukan Kota), yang kemudian diikuti dengan peraturan pelaksanaanya yaitu Stadsvormingverordening, Stb 1949/40 (SVV atau Peraturan Pembentukan Kota). 
SVO dan SVV diterbitkan untuk mempercepat pembangunan kembali wilayah-wilayah yang hancur akibat peperangan dan pada mulanya hanya diperuntukan bagi 15 kota, yakni Batavia, Tegal, Pekalongan, Semarang, Salatiga, Surabaya, Malang, Padang, Palembang, Banjarmasin, Cilacap, Tanggerang, Bekasi, Kebayoran dan Pasar Minggu.
Pesatnya perkembangan kota dan berubahnya karakteristik kota menyebabkan SVO tidak sesuai lagi untuk mengatur penataan ruang di Indonesia, selain hanya diperuntukan bagi 15 kota, Ordonansi ini hanya menciptakan dan mengatur kawasan-kawasan elit serta tidak mampu mengikuti perkembangan yang ada. Karena itulah pemerintah Indonesia mengajukan RUU Bina Kota pada tahun 1970 yang dipersiapkan oleh Departemen PUTL.
RUU ini mencakup ketentuan-ketentuan antara lain tahapan pembangunan, pembiayaan pembangunan, peraturan bangunan, dan peremajaan kota. Namun, usulan tersebut tidak pernah disetujui.
Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya Indonesia menyusun Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang akhirnya undang-undang tersebut disahkan dan berlaku. Namun seiring dengan adanya perubahan terhadap paradigma otonomi daerah melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka ketentuan mengenai penataan ruang mengalami perubahan yang ditandai dengan digantikanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, menjadi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Selanjutnya, sesuai dengan keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 64/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) setidaknya harus berisikan hal-hal sebagai berikut :

a.Kebijaksanaan pengembangan penduduk kota;
b.Rencana pemanfaatan ruang kota;
c.Rencana struktur pelayanan kegiatan kota;
d.Rencana sistem transportasi;
e.Rencana sistem jaringan utilitas kota;
f.Rencana kepadatan bangunan;
g.Rencana ketinggian bangunan;
h.Rencana pemanfaatan air baku;
i.Rencana penanganan lingkungan kota;
j.Tahapan pelaksanaan bangunan; dan 
k.Indikasi unit pelayanan kota


MAKALAH AL MASYAQQAH TAJLIBUT TAYSIR


Ini-Makalahku,- Terimakasih bagi anda yang telah berkunjung ke blog saya, kali ini saya akan membahas tentang makalah AL MASYAQQAH TAJLIBUT TAYSIR, bagi kalian yang sedang mencari referensi tentang makalah gadai saya ijinkan untuk di copy, tapi tolong diperhatikan bahwa jadikan makalah ini hanya sebagai referensi, hilangkan budaya copas.

BAB I
PENDAHULUAN
Allah SWT sebagai musyarri’ memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasaan-Nya itu Dia mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi pada-Nya. Agar dalam realisasi penghambaan itu tidak terjadi kekeliruan maka Dia membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagai syariah demi kemaslahatan manusia sendiri. Tentunya syariah itu disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan potensi yang dimiliki seorang hamba, karena pada dasarnya syariah itu bukan untuk kepentingan Tuhan melainkan untuk kepentingan manusia sendiri.[1]
Dalam pada ini, Allah SWT memberikan 3 alternatif bagi perbuatan manusia, yakni positif (wajib), cenderung kepositif (sunnah), cenderung kenegatif (makruh) dan negatif (haram). Untuk realisasi kelima alternatif itu selanjutnya Allah SWT memberikan hukum keharusan yang disebut dengan Azimah yakni keharusan untuk melakukan yang positif dan keharusan untuk meninggalkan yang negatif. (Wahbah as Zuhaili 1982:40)
Namun tidak semua keharusan itu dapat dilakukan manusia, mengingat potensi atau kemampuan yang dimiliki manusia berbeda-beda. Dalam kondisi semacam ini, Allah SWT memberikan hukum rukhsah yakni keringanan-keringanan tertentu dalam kondisi tertentu pula. Sehingga dapat dikatakan bahwa keharusan untuk melakukan azimah seimbang dengan dengan kebolehan melakukan rukhsah. [2]
Allah SWT berfirman:
ﻻﯾﻜﻠﻑ ﺍﷲ ﻧﻔﺴﺎ ﺍﻻ ﻮ ﺴﻌﻬﺍ (ﺍﺑﻘﺮﺓ:٢٧٦)
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dalam batas kesanggupan” (QS. Al Baqarah: 286)
Bagi Asy-Syahibi, kesulitan itu dihilangkan bagi orang mukallaf karena dua sebab. Pertama, karena khawatir akan terputuskan ibadah, benci terhadap ibadah, serta benci terhadap taklif, dan khawatir akan adanya kerusakan bagi orang mukallaf, baik jasad, akal, harta maupun kedudukannya, karena pada hakikatnya taklif itu untuk kemaslahatan manusia. Kedua, karena takut terkurangi kegiatan-kegitan sosial yang berhubungan dengan sesama manusia, baik terhadap anak maupun keluarga dan masyarakat sekitar, karena hubungan dengan hak-hak orang lain itu juga termasuk ibadah pula. (Wahbah as Zuhaili, 1982:41-42)
Menurut Dr. Wahab Az-Zuhaili, tujuan pokok terciptanya kaidah diatas adalah untuk membuktikan adanya prinsip tasamuh dan keadilan dalam Islam agar Islam itu terkesan tidak menyulitkan. Karena itu setiap kesulitan akan mendatangkan kemudahan, dan kewajiban melakukan tasamuh jika dalam kondisi menyulitkan. (Wahbah as Zuhaili, 1982:195-196)
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al Masyaqqah Tajlibut Taysir
اﻠﻤﺸﻘﺔ ﺗﺠﻠﺐ ﺍﻠﺘﯿﺴﯾﺮ
“ Kesulitan mendatangkan kemudahan”
Al-Masyaqqah menurut ahli bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran, seperti terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 7:
ﻮﺘﺤﻤﻞ ﺃﺛﻘﺎ ﻠﮕﻢ ﺇﻟﻰ ﺒﻠﺪ ﻟﻢ ﺘﮕﻮﻨﻮﺍ ﺑﺍﻠﻐﯿﻪ ﺇﻻ ﺒﺸﻖ ﺍﻷﻨﻔﺲ
“Dan ia memikul beban-bebanmu kesuatu negeri yang tidak sampai ketempat tersebut kecuali dengan kelelahan diri (kesukaran)”.[3]
Sedang Al Taysir secara etimologis berarti kemudahan, seperti didalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan oleh :
ﺍﻟﺪﻴﻦ ﻴﺴﺮ ﺍﺤﺐ ﺍﻟﺪﻴﻦ ﺍﻠﻰ ﺍﷲ ﺍﻟﺤﻧﻔﻴﺔ ﺍﻠﺴﻤﺤﺔ ﴿ﺮﻮﺍﻩﺍﻟﺑﺧﺮﻰ﴾
“Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”(HR. Bukhari dari Abu Hurairah)[4]
Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukkallaf (subjek hukum), sehingga syariah meringankannya sehingga mukkallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
1.     B. Klasifikasi Kesulitan
1.     Kesulitan Mu’tadah
Kesulitan Mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia mampu mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Karena itu Ibnu Abdus Salam mengatakan bahwa kesulitan semacam ini tidak mengugurkan ibadah dan ketaatan juga tidak meringankan, karena hal itu diberi keringanan berarti akan mengurangi kemaslahatan syariah itu sendiri. Sedang Ibnu Qayyim menyatakan bahwa bila kesulitan berkaitan dengan kepayahan, maka kemaslahatan dunia akhiran dapat mengikuti kadar kepayahan itu (Wahbah az-Zuhaili, 1982: 196-197).[5]
b.Kesulitan Qhairu Mu’tadah
Kesulitan Qhairu Mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu, karena jika dia melakukannya niscaya akan merusak diri dan memberatkan kehidupannya, dan kesulitan-kesulitan itu dapat diukur oleh kriteria akal sehat, syariat sendiri serta kepentingan yang dicapainya. Kesulitan ini diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhshah). Seperti wanita yang selalu istihadlah, maka wudhunya cukup untuk shalat wajib serta untuk shalat sunah yang lainnya tidak diwajibkan, dan diperbolehkan shalat khauf bagi mereka yang sedang berperang, dan sebagainya. Wahbah az-Zuhaili, 1982: 199-200).[6]
1.     C. Tingkatan Kesulitan Dalam Ibadah
Para ulama membagi masyaqqah ini menjadi tiga bagian :
1.     al-Masyaqqah al-‘Azhimmah ( kesulitan yang sangat berat), seperti kekhawatiran yang akan hilangnya jiwa dan/atau rusaknya anggota badan. Hilangnya jiwa dan /atau anggota badan mengakibatkan kita tidak bisa melaksanakan ibadah dengan sempurna. Masyaqqah semacam ini membawa keringanan.
2.     al-Masyaqqah al-mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga sangat tidak ringan). Masyaqqah semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan disitu. Apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak ada kemudahan disitu. Inilah yang penulis maksud bahwa mayaqqah itu bersifat individual.
3.     al-Masyaqqah al-Khafifah ( kesulitan yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, terasa capek waktu tawaf dan sai, terasa pening waktu rukuk dan sujud, dan lain sebagainya. Masyaqqah semacam ini dapat ditanggulangi dengan mudah yaitu dengan cara sabar dalam melaksanakan ibadah. Alasannya, kemaslahatan dunia dan akhirat yang tercermin dalam ibadah tadi lebih utama daripada masyaqqah yang ringan ini.[7]
D. Sebab-Sebab Adanya Kesulitan
Abdurrahman as Suyuti dalam al Asyba’ wan Nadhoirnya menyebutkan 7 macam sebab-sebab yang menyebabkan kesulitan :
1.     Karena safar (bepergian)
Misalnya boleh mengqashar shalat, boleh berbuka puasa, meninggalkan salat jum’at.
1.     Keadaan sakit
Misalnya boleh tayamum ketika sulit memakai air, shalat fardu sambil duduk, berbuka puasa bulan Ramadhan dengan kewajiban qadha setelah sehat, ditundanya pelaksanaan had sampai terpidana sembuh, wanita yang sedang menstruasi.
1.     Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya. Setiap akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa maka akad tersebut tidak sah seperti jual beli, gadai, sewa menyewa, karena bertentangan dengan prinsip ridha (rela), merusak atau menghancurkan barang orang lain karena dipaksa.
2.     Lupa (al nisyam)
Misalnya seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa mengerjakan shalat lalu teringat dan melakukannya diluar waktunya, lupa berbicara diwaktu shalat padahal belum melakukan salam.
Sabda Nabi SAW:
ﻭﺿﻊ ﻋﻦ ﺍﻤﺘﻰ ﺍﻟﺧﻄﺄ ﻭﺍﻟﻧﺴﻴﺎﻦ ﻭﻤﺎ ﺍﺴﺘﻜﺭ ﻫﻭﺍ ﻋﻟﻴﻪ ﴿ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺒﻴﻬﻗﻰ﴾
(Diangkat pena dari penulis dosa pada ummatku ketika salah, lupa dan terpaksa). (HR. Baihaqic dari Ibnu Umar)
1.     Karena Jahl (Bodoh)
Misalnya memakan bangkai tetapi tidak mengerti bahwa bangkai itu diharamkan. Termasuk juga tergolong orang yang idiot.
1.     Karena Usrun dan Umumul Balwa (Kesulitan)
Misalnya dibolehkan istinja’ dengan batu, kebaikan memakai sutra bagi laki-laki yang sakit, jual beli dengan akad salam, adanya khiar dalam jual beli dan shalat dengan najis yang sulit untuk dihilangkan.
1.     Karena Naqsh (Kekurangan)
Misalnya wanita kadang-kadang haid dalam setiap bulannya maka diperingankan untuk tidak mengikuti jumat, karena jumat membutuhkan waktu lama dan dikhawatirkan dalam kondisi jumat itu datang bulan. ( as- Suyuthi, TT : 56-57).
E. Bentuk-Bentuk Keringanan Dalam Kesulitan
Keringanan atau kemudahan karena adanya masyaqqah setidaknya ada tujuh macam, yaitu :
1.     Takhfif isqath/rukhsah isqath, yaitu keringanan dalam bentuk penghapusan seperti tidak shalat bagi wanita yang sedang menstruasi atau nifas. Tidak wajib haji bagi yang tidak mampu (Istitha’ah).
2.     Takhfif tanqish, yaitu keringanan berupa pengurangan, seperti shalat Qashar dua rakaat yang asalnya empat rakaat.
3.     Takhfif abdal, yaitu peringanan yang berupa penggantian, sepertu wudhu dan/atau mandi wajib diganti tayamum, atau berdiri waktu shalat wajib digant dengan duduk karena sakit.
4.     Takhfif taqdim, yaitu keringanan dengan cara didahulukan, seperti jama’taqdim di Arafah; mendahulukan mengeluarkan zakat sebelum haul (batas waktu satu tahun); mendahulukan mengeluarkan zakat fitrah di bulan Ramadhan; jama’taqdim bagi yang sedang bepergian yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya.
5.     Takhfif  ta’khir, yaitu keringanan dengan cara diakhirkan, seperti shalat jama’ takhir di Muzdalifah, qadha saum Ramadhan bagi yang sakit, jama’ ta’khir bagi orang yang sedang dalam perjalanan yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya.
6.     Takhfif tarkhis, yaitu keringanan karena rukhsah, seperti makan dan minum yang diharamkan dalam keadaan terpaksa, sebab bila tidak, bisa membawa kematian.
7.     Takhfif taghyir, yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya cara yang dilakukan, seperti shalat pada waktu khauf (kekhawatiran), misalnya pada waktu perang.[8]
8.     F. Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Kondisi Menyulitkan
a. Kaidah pertama :
ﺍﺬﺍ ﺿﺍﻖ ﺍﻻﻤﺭ ﺍﺘﺴﻊ ﻭﺍﺬﺍ ﺍﺘﺴﻊ ﺍﻻﻤﺭﺿﺍﻖ
“apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika suatu perkara itu luas maka hukumnya menjadi sempit.”
Kaidah itu dikumandangkan oleh Imam Syafi’I, kemudian diteruskan oleh Al-Ghazali dengan redaksi yang berbeda :
ﻜﻝ ﻤﺍ ﺘﺠﺍﻭﺯ ﺤﺪﻩ ﺍﻧﻌﻜﺲ ﺍﻠﻰ ﻀﺪﻩ
“ semua yang melampaui batas, maka (hukumnya) berbalik kepada kebalikannya”.
Misalnya boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan ketika sakit atau bepergian jauh. Sakit dan bepergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka. Akan tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukumnya wajib melakukan puasa itu kembali.
b. Kaidah kedua :
ﺇﺫﺍ ﺗﻌﺫﺭ ﺍﻷﺼﻝ ﻴﺼﺍﺭ ﺇﻠﻰ ﺍﻠﺑﺪﻝ
“ Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya”
Misalnya tayamum sebagai pengganti wudhu. Orang yang meminjam suatu benda, kemudian benda itu hilang (misalnya, buku), maka penggantinya buku yang sama baik judul, penerbit, maupun cetakannya, atau diganti dengan harga buku tersebut dengan harga dipasaran.
c. Kaidah ketiga
ﻤﺎ ﻻ ﻴﻤﻜﻦ ﺍﻠﺘﺤﺮﺯ ﻤﻨﻪ ﻤﻌﻔﻭ ﻋﻧﻪ
“Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan”
Misalnya pada waktu sedang berpuasa, kita berkumur-kumur, maka tidak mungkin terhindar dari rasa air dimulut atau masih ada sisa-sisa.
d. Kaidah keempat
ﺍﻠﺮﺧﺹ ﻻ ﺘﻨﺎﻄ  ﺑﺎﻠﻤﻌﺼﻰ
“ Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
Kaidah ini digunakan untuk menjaga agar keringanan-keringanan didalam hukum tidak disalahgunakan untuk melakukan maksiat. Misalnya orang yang bepergian untuk berjudi kehabisan uang atau kelaparan kemudian ia makan daging babi. Maka dia tidak dipandang sebagai orang yang menggunakan rukhsah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging babi tersebut. Lain halnya dengan orang yang bepergian dengan tujuan yang dibolehkan seperti untuk usaha yang halal, kemudian kehabisan uang dan kelaparan, serta tidak ada makanan kecuali yang diharamkan, maka memakannya dibolehkan.
e. Kaidah kelima
ﺇﺬﺍ ﺘﻌﺫﺭﺖﺍﻠﺤﻘﻴﻘﺔ ﻴﺻﺎﺮ ﺇﻠﻰ ﺍﻟﻤﺠﺎﺯ
“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”
Misalnya seseorang berkata: “Saya wakafkan tanah saya ini kepada anak Kyai Ahmad”. Padahal semua tau bahwa anak kyai tersebut sudah lama meninggal, yang ada hanyalah cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab tidak mungkin mewakafkan kepada orang yang sudah meninggal dunia.
f. Kaidah keenam
ﺇﺬﺍ ﺗﻌﺬﺭ ﺇﻋﻤﺎﻞ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﻴﻬﻤﻞ
“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan”
Misalnya seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti, dia lebih tua dari pada orang telah meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya. Maka perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
1.     Kaidah ketujuh
ﻴﻐﺘﻔﺭ ﻔﻲ ﺍﻟﺪﻮﺍﻡ ﻤﺎ ﻻ ﻴﻐﺘﻔﺮ ﻔﻲ ﺍﻹﺒﺘﺪﺍﺀ
“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya”
Misalnya orang yang menyewa rumah yang diharuskan membayar uang muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin memperbarui dalam arti melanjutkan sewaannya, maka ia tidak perlu membayar uang muka lagi.
1.     Kaidah kedelapan
ﻴﻐﺘﻔﺮ ﻔﻲ ﺍﻹﺑﺘﺪﺍﺀ ﻤﺎ ﻻ ﻴﻐﺘﻔﺮ ﻔﻲ ﺍﻟﺪﻭﺍﻡ
“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”
Misalnya seseorang yang baru masuk Islam minum minuman keras karena kebiasaannya sebelum masuk Islam dan tidak tau bahwa minuman semacam itu dilarang (haram). Maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia tau bahwa perbuatan tersebut adalah haram, maka ia harus menghentikan perbuatan haram tersebut.
1.     Kaidah kesembilan
ﻴﻐﺘﻔﺮ ﻔﻲ ﺍﻟﺘﻭﺍﺑﻊ ﻤﺎ ﻻ ﻴﻐﺘﻔﺮ ﻔﻲ ﻏﻴﺮﻫﺎ
“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Misalnya penjual boleh menjual kembali karung bekas tempat beras, karena karung mengikuti kepada beras yang dijual. Demikian juga boleh mewakafkan kebun yang sudah rusak tanamannya karena tanaman mengikuti tanah yang diwakafkan.[9]
BAB III
PENUTUP
Al-Masyaqqah menurut ahli bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran.
Sedang Al Taysir secara etimologis berarti kemudahan.
Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penarapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukkallaf (subjek hukum), sehingga syariah meringankannya sehingga mukkallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
1.     Klasifikasi Kesulitan
1.     Kesulitan Mu’tadah
1.    Kesulitan Qhairu Mu’tadah
2.    Tingkatan Kesulitan Dalam Ibadah
Para ulama membagi masyaqqah ini menjadi tiga bagian :
1.     al-Masyaqqah al-‘Azhimmah ( kesulitan yang sangat berat),
2.     al-Masyaqqah al-mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga sangat tidak ringan),
3.     al-Masyaqqah al-Khafifah ( kesulitan yang ringan).
4.     Sebab-Sebab Adanya Kesulitan
Abdurrahman as Suyuti dalam al Asyba’ wan Nadhoirnya menyebutkan 7 macam sebab-sebab yang menyebutkan kesulitan :
Karena safar (bepergian), Keadaan sakit, Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya, Lupa (al nisyam), Karena Jahl (Bodoh), Karena, Usrun dan Umumul Balwa (Kesulitan), Karena Naqsh (Kekurangan).
D. Bentuk-Bentuk Keringanan Dalam Kesulitan
Keringanan atau kemudahan karena adanya masyaqqah setidaknya ada tujuh macam, yaitu :
Takhfif isqath/rukhsah isqath, Takhfif tanqish, Takhfif abdal, Takhfif taqdim, Takhfif  ta’khir, Takhfif tarkhis, Takhfif taghyir,

DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, A, Kaidah-Kaidah Fiqh. Jakarta : Kencana: 2006
Ustman, Mukhlis, Kaidah-Kaidah ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada: 1997

[1] Mukhlis usman, MA. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: Raja Grafindo Persada:1997. Hal 124
[2] Ibid, hal 125
[3] Prof. H. A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta:Kencana, 2006. hal 55
[4] Al Burnu, Muhammad Shiddiq bin Ahmad, al-Wajiz fi Idhahal-Qawai’id al Fiqhiyah, cet I, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1404 H/1983 M), hal. 129
[5] Ibid, hal 126
[6] Ibid, hal 127
[7] Prof. H. A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta:Kencana, 2006. hal 57-58
[8] Ibid, hal 58
[9] Ibid, hal 59-65