A.
Latar
belakang
Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis di Indonesia, tepatnya di Pulau
Sumatra, terdapat dua pelabuhan dagang yang besar sebagai tempat transit para
saudagar luar negeri, yakni Pasai dan Pedir. Pasai dan Pedir mulai berkembang
pesat ketika kedatangan bangsa Portugis serta negara-negara Islam. Namun
disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires menyebutkan adanya kekuatan
ketiga, masih muda, yaitu “Regno dachei” (Kerajaan Aceh).
Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada
yang semula melalui Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati
sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra. Hal ini membawa perubahan besar bagi
perdagangan Samudra Hindia, khususnya Kerajaan Aceh. Para pedagang yang
rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini lebih suka berlayar melewati utara
Sumatra dan Malaka. Selain pertumbuhan ladanya yang subur, disini para pedagang
mampu menjual hasil dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama pada para
saudagar dari Cina. Namun hal itu justru dimanfaatkan bangsa Portugis untuk
menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari situlah pemberontakan rakyat pribumi
mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh (Denys Lombard: 2006, 61-63)
Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah
atau Sultan Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir
pada tahun 1520. Dan pada tahun itu pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai
daerah Daya hingga berada dalam kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan Aceh mulai
melakukan peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta berusaha
melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524,
Kerajaan Aceh bersama pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan
Pedir dan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat
Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal Portugis yang dipimpin oleh Simao de
Souza Galvao di Bandar Aceh.
B.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh
Kesultanan Aceh Darussalam mulai
berdiri ketika Kerajaan Samudera
Pasai sedang berada di ambang keruntuhan. Samudera Pasai diserang oleh
Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran pada sekitar abad ke-14,
tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam pertama di nusantara
itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir. Kesultanan Aceh
Darussalam dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang
pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan
Indra Purba, Kerajaan Indra
Purwa, Kerajaan Indra Patra,
dan Kerajaan Indrapura (Indrapuri).
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496
yang sebelumnya telah dirintis pada abad ke-15 oleh Mudzaffar Syah. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayahKerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah
kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir,Lidie,Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti
dengan Aru. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh ini
merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali
kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya. Pada awalnya,
wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar tetapi pada
saat pemerintahan
Keterangan mengenai keberadaaan
Kesultanan Aceh Darussalam semakin terkuak dengan ditemukannya batu nisan yang
ternyata adalah makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan pendiri
Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini,
disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12
Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530 dan berdasarkan
penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari batu nisan
Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan
Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda
Aceh).
C. Kehidupan Politik
·
Penguasa
Berdasarkan Bustanus salatin 1637 M
karangan Naruddin Ar-raniri yang berisi silsilah sultan-sultan aceh, dan
berita-berita eropa. Kerajan aceh telah berhasil membebaskan diri dari
kaerajaan pedir. Raja-raja yang pernah memerintah kerajaan aceh :
1. Sultan
Ali Mughayat Syah
Adalah
raja kerajaan aceh yang pertama. Ia memerintah tahun 1514 – 1528 M. Dibawah
kekuasaannya, kerajaan aceh melakukan perluasan ke beberapa daerah yang berada
di daerah Daya dan Pasai. Bahkan melakukan serangan terhadap bangsa portugis di
malaka dan juga menyerang Kerajaan Aru.
2. Sultan
Salahuddin
Wafatnya
Sultan Ali Mughayat Syah pemerintahan beralih kepada purtanya yang bergelar
Sultan Salahuddin. Ia memerintah tahun 1528 – 1537 M. Selama menduduki tahta
kerajaan ia tidak memperdulikan pemerintahan kerajaannya. Keadaan kerajaan
mulai goyah dan mengalami kemerosotan yang tajam. Oleh karena itu Sultan
Salahuddin digantikan saudaranya yang bernama Alauddin Riayat Syah Al-kahar.
3. Sultan
Alauddin Riayat Syah Al-kahar
Ia
memerintah aceh dari tahun1537 – 1568 M. Ia melakukan berbagai bentuk perubahan
dan perbaikan dalam segala bentuk pemerintahan. Pada pemerintahannya kerajaan
aceh melakukan perluasan wilayah kekuasaannya seperti melakukan serangan
terhadap kerajaan malaka ( tetapi gagal ). Daerah kerajaan Aru berhasil
diduduki. Pada masa pemerintahannya kerajaan aceh mengalami masa suram banyak
pemberontakan dan perebutan kekuasaan sering terjadi.
4. Sultan
Iskandar Muda
Ia
memerintah kerajaan aceh tahun 1607 – 1636 M. Dibawah pemerintahannya kerajaan aceh
mengalami kejayaan, tumbuh menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas perdagangan
islam, bahkan menjadi bandar transito yang dapat menghubungkan dengan
perdagangan islam di barat.
Untuk
mencapai kebesaran kerajaan aceh Sultan Iskandar Muda meneruskan perjuangan
dengan menyerang portugis dan kerajaan johor di semenanjung malaya. Tujuannya
untuk menguasai jalur perdagangan di selat malaka dan menguasai daerah-daerah
penghasil lada. Sulata Iskandar Muda juga menolak permintaan Inggris dan
Belanda untu membeli lada di pesisir sumatra bagian barat. Selain itu, kerajaan
aceh melakukan pendudukan terhadap daerah-daerah sepertu Aru, Pahang, Kedah,
Perlak, dan Indragiri sehingga kerajaan aceh memiliki wilayah yang sangat luas.
Pada
masa kekuasaannya terdapat dua orang ahli tasawwuf yang terkenal di aceh Syech
Syamsuddin bin Abdullah Asy-samatrani dan Syech Ibrahin Asy-syamsi. Setelah
sultan itu wafat digantikan oleh menantunya Iskandar Thani.
5. Sultan
Iskandar Thani
Ia
memerintah tahun 1636 – 1641 M. Dalam menjalankan pemerintahannya ia
melanjutkan tradisi Sultan Iskandar Muda.
Pada
masa pemerintahannya muncul seorang ulama besar yang bernama Nuruddin
Ar-raniri. Ia menulis buku sejarah aceh berjudul Bustanu’salatin. Sebagai ulama
besar Nuruddin Ar-raini sangat dihormati Sultan Iskandar Thani dan keluarganya
serta rakyat aceh. Setelah Sultan Iskandar Thani meninggal tahta kerajaan
dipegang oleh putri dari permasyurinya dengan gelar Putri Sri Alam Permaisyuri
( 1641 – 1667 M ).
6. Sultan
Sri Alam ( 1575 – 1576 M).
7. Sultan
Zain Al-abidin ( 1576 – 1577 M).
8. Sultan
Ala’ Al-din Mansur Syah ( 1577 – 1589 M).
9. Sultan
Buyong ( 1589 – 1596 M).
10. Sultan
Ala’ Al-din Riyayat Syah Sayyid Al-mukkamil ( 1596 – 1604 M).
11. Sultan
Ali Riayat Syah ( 1604 – 1607 M).
12. Sultan
Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam ( 1607 – 1636 M).
13. Sultan
Sri Ratu Salfi Al-din Taj Al-alam ( 1641 – 1675 M).
14. Sultan
Sri Ratu Naqi Al-din Nur AL-alam ( 1675 – 1678 M).
15. Sultan
Sri Ratu Zaqi Al-din Inayat Syah (1678 – 1688 M).
16. Sultan
Sri Ratu Kamalat Syah Zinat Al-din ( 1688 – 1699 M).
17. Sultan
Badr Al-alam Syarif Hashim Jamal Al-din ( 1699 – 1702 M).
18. Sultan
Perkasa Alam Syarif Lamtui ( 1702 – 1703 M).
19. Sultan
Jamal Al-alam Badr Al-munir ( 1703 – 1726 M).
20. Sultan
Jauhar Al-alam Amin Al-din ( 1726 M).
21. Sultan
Syams Al-alam ( 1726 – 1727 M).
22. Sultan
Ala’ Al-din Ahmad Syah ( 1727 – 1735 M).
23. Sultan
Ala’ Al-din Johan Syah ( 1735 – 1760 M).
24. Sultan
Mahmud Syah ( 1760 – 1781 M).
25. Sultan
Badr Al-din ( 1781 – 1785 M).
26. Sultan
Sulaiman Syah ( 1785 - .... M).
27. Alauddin
Muhammad Daud Syah
28. Sultan
Ala’ Al-din Jauhar Al-alam ( 1795 – 1815 dan 1818 – 1824 M).
29. Sultan
Syarif Syaif Al-alam ( 1815 – 1818 M).
30. Sultan
Muhammad Syah ( 1824 - 1838 M).
31. Sultan
Sulaiman Syah ( 1838 – 1857 M).
32. Sultan
Mansyur Syah ( 1857 – 1870 M).
33. ltan
Mahmud Syah ( 1870 – 1874 M).
34. Sultan
Muhammad Daun Syah ( 1874 – 1903 M).
·
Masa Kejayaan
Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya
selalu dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh
menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan
pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan
harta kerajaan pada pengikutnya. Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh
beberapa bulan kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan
adu binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat
Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri
periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya
sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang
dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta
Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang
merupakan sumber timah
utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis
di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000
tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka
dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang
sama Aceh menduduki Kedah
dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan
Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602
dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke
berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van
Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk
memperkuat posisi kekuasaan Aceh.
D. Kehidupan Ekonomi
Letak Aceh Darussalam yang strategis
menyebabkan perdagangan maju pesat. Bidang perdagangan yang maju tersebut
menjadikan Aceh Darussalam makin makmur. Setelah dapat menaklukan Pedir yang
kaya akan lada putih, Aceh Darussalam makin bertambah makmur. Dengan kekayaan
yang melimpah, Aceh Darussalam mampu membangun angkatan bersenjata yang kuat.
Sumber pemasukan utama Kerajaan Aceh Darussalam adalah lada dan emas. Mata
pencaharian utama penduduk Aceh Darussalam adalah bidang perdagangan, terutama
perdagangan lada dan emas. Selain berdagang, rakyat Aceh Darussalam juga
menggantungkan diri pada sektor kelautan dan pertanian.
Aceh
banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:
- Minyak tanah dari Deli,
- Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
- Kapur dari Singkil,
- Kapur Barus dan menyan dari Barus.
- Emas di pantai barat,
- Sutera di Banda Aceh.
Selain
itu di ibukota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang mengolah barang mentah menjadi barang jadi.
Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan.Namun di
antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.
Produksi
terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh
mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang,
senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai
barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Perancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu
Rigas, Teunom, dan Meulaboh
E.
Kehidupan
Sosial Budaya
Kehidupan sosial
Meningkatnya
kemakmuran telah menyebabkan berkembangnya sistem feodalisme dan ajaran agama
islam di aceh. Kaum bangsawan yang memegang kekuasaan dalam pemerintahan sipil
dalam golongan Teuku, sedangkan kaum
ulama yang memegang peranan penting dalam agama disebut golongan Teungku, namun antara kedua golongan masyarakat itu sering
terjadi persaingan yang kemudian melemahkan aceh. Sejak berkuasanya Kerajaan
Perlah ( abad ke-12 M samapai ke-13 M ) telah terjadi permusuhan antara aliran
Syiah dengan Sunnah Wal Jamma’ah. Tetapi pada masa kekuasaan Sultan Iskandar
Muda aliran Syiah memperoleh perlindungan dan berkembang sampai di
daerah-daerah kekuasaan aceh.
Aliran ini diajarkan oleh Hamzah
Fansuri yang diteruskan oleh muridnya yang bernama Syamsuddin Pasai. Sesudah
Sultan Iskandar wafat, aliran Sunnah Wal Jamma’ah mengembangkan islam beraliran
Sunnah Wal Jamma’ah, ia juga menulis sejarah aceh yang berjudul Busnanussalatin. ( Taman raja-raja dan
berisi adat-istiadat aceh beserta ajaran agama islam ).
Pada saat pemerintahan Sultan
Iskandar Thani muncul ahli tasawwuf terkenal dari gujarad yang bernama
Nurruddin Ar-Raniri. Hasil karyanya yang terkenal adalah Bustanus Salatin yang
berisi sejarah Aceh. Ajaran Nurruddin Ar-Raniri bertentangan dengan ajaran
Hamzah Fansyuri dan Syamsudin As-Samatrani. Hal itu menyebabkan perpecahan di
kerajaan aceh pada tahun 1641, Sultan Iskandar Thani wafat. Setelah Sultan
Iskandar Thani meninggal aceh mengalami kemunduran di berbagai bidang.
Kehidupan Budaya
Kejayaan
yang dialami oleh Kerajaan Aceh tersebut tidak banyak diketahui dalam bidang
kebudayaan. Walaupun ada perkembangan dalam bidang kebudayaan, tetapi tidak
sepesat perkembangan dalam aktifitas perekonomian. Peninggalan kebudayaan yang
terlihat nyata adalah Masjid Baiturrahman.
F.
Keruntuhan Kerajaan Aceh
Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah
makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai
dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli,
Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting
lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
Diplomat
Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi
Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun 1870an
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian
peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat
kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan
Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang
dengan pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibukota.
Lada menjadi tanaman utama
yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada
dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum
wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan.
Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di
pedalaman. Perang saudara pecah, mesjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh
dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi
Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech
Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi
terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal
ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa
penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam
melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan
Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan
mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang
saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles
dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang
kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris dan Spanyol)
dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam
perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak
bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali
kesultanan yang sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk
menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan
terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada
pada tahun 1854
dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini
untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat
dan Serdang.
Namun naas, tahun 1865
Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai
usaha untuk membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul
sebagai pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki
Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk Perang Krimea.
Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk
Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan Perancis
dengan mengirim surat kepada Raja Perancis Louis Philippe I dan Presiden
Republik Perancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan
serius.
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda
nan lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang
dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan
ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibukota, Habib bersaing dengan
seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang
Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum
moderat cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima
Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.[5]
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana
disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk
perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera.
Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh
dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer
disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan
utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki.
Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja
berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia,
Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang
untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan
ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan Belanda
mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.
G. Daftar Pustaka
SOAL
A. Pilihan
ganda
1. Sebelum Kerajaan Aceh dibangun, kerajaan ini
sudah dirintis oleh seseorang pada abad ke-15. Perintis tersebut adalah ...
a. Mudzaffar
Syah
b. Ali
Mughayat Syah
c. Sultan
Salahudin
d. Sultan
Iskandar Muda
e. Sultan
Iskandar Thani
2. Raja
yang membangun Kerajaan Aceh, sekaligus raja pertama di kerajaan Aceh adalah
...
a. Mudzaffar
Syah
b. Ali
Mughayat Syah
c. Sultan
Salahudin
d. Sultan
Iskandar Muda
e. Sultan
Iskandar Thani
3. Kerajaan
Aceh tumbuh menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas perdagangan islam bahkan
menjadi bandar transito yang dapat menghubungkan dengan pedagang islam di dunia
barat. Pada saat itu Kerajaan Aceh mengalami masa kejayaan yang sangat pesat
berkat dan kegigihan dari raja ...
a. Sultan
Salahudin
b. Ali
Mughayat Syah
c. Sultan
Iskandar Muda
d. Sultan
Iskandar Thani
e. Sultan
Alaudin Riayat Syah Al-Kahar
4. Kerajaan
Aceh merupakan kerajaan yang besar dan pemerintahan yang kuat. Dalam hal ini
Aceh menganut pemeerintahan yang bercorak ...
a. Pemerintahan
sipil atas dasar agama
b. Pemerintahan
presidensiil atas dasar agama
c. Pemerintahan
diktator atas dasar kekuasaan raja
d. Pemerintahan
yang menganut faham liberal
e. Pemerintahan
yang menganut faham komunis
5. Dalam
sistem pemerintahan Aceh yang memimpin
setiap kampung adalah ...
a. Teuku
b. Teungku
c. Pang;ima
sagi
d. Ulebalang
e. Imam
B. Uraian
1. Apa
yang menyebabkan Kerajaan Aceh berkembang dengan pesat baik dari segi ekonomi,
sosial, agama, dll ?
2. Sebutkan
dan jelaskan struktur pemerintahan yang ada di Kerajaan Aceh !
3. Apa
saja tindakan Sultan Iskandar Muda yang menjadikan Aceh sebagai kerajaan besar
dan mengalami kejayaan ?
4. Sebutkan
raja-raja yang pernah memerintah di kerajaan Aceh !
5. Sebutkan
faktor kemunduran dari Kerajaan Aceh !
KUNCI JAWABAN
A. 1.
A
2.
B
3.
C
4.
A
5.
D
B.
1. Karena
letak Kerajaan Aceh yang sangat strategis yaitu terletak di dekat jalur
pelayaran dan perdagangan Internasional yang tepatnya di pulau sumatra bagian
utara.
2. Struktur
pemerintahan di kerajaan aceh yaitu dengan corak pemerintahan sipil atas dasar
agama yang dipimpin oleh kaum bangsawan, dibawahnya terdapat :
§ Ulebalang
: pemimpin setiap kampong.
§ Panglima
sagi : pemimpin beberapa kampong (gampong) yang digabung menjadi sagi.
§ Teuku
: kaum bangsawan yang memegang kekuasaan sipil.
§ Imam : kepala tiap-tiap mukim.
§ Teungku
: kaum ulama yang berkuasa dalam bidang keagamaan.
3. Tindakan
Sultan Iskandar Muda
§ Merebut
sejumlah pelabuhan penting di pesisir barat dan timur sumatra, serta pesisir barat semenanjung malaya.
§ Menyerang
kedudukan portugis di malaka dan kapal-kapalnya yang melalui selat malaka. Aceh
sempat menang perang melawan armada portugis pada tahun 1614.
§ Bekerja
sama dengan inggris dan belanda untuk memperlemah pengaruh potugis. Iskandar
muda mengizinkan persekutuan dagang kedua negara itu untuk membuka kantor di
Aceh.
4. Raja-raja
di Kerajaan Aceh
§ Sultan
Ali Mughayat Syah (1514-1528 M)
§ Sultan
Salahuddin (1528-1537 M)
§ Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Kahar (1537-1568 M)
§ Sultan
Iskandar Muda (1607-1636 M)
§ Sultan
Iskandar Thani (1636-1641 M)
5. Kemuduran
Kerajaan Aceh
§ Kekalahan
aceh dalam perang melawan portugis di malaka pada tahun 1629 M
§ Tokoh
pengganti Sultan Iskandar Muda tidak secapak pendahulunya
§ Permusuhan
yang hebat diantara kaum ulama yang menganut ajaran Syamsudin as-Sumatrani dan
penganut ajaran Nurrudin ar-Raniri
§ Daerah-daerah
yang jauh dari pemerintahan pusat seperti Johor, Perlak, Pahang, Minangkabau,
dan Siak melepaskan diri dari Aceh
§ Pertahanan
aceh lemah sehingga bangsa-bangsa Eropa berhasil mendesak dan menggeser daerah
perdagangan aceh. Akibatnya perekonomian di aceh menjadi lemah.
No comments:
Post a Comment