Ini-Makalahku,-
Terimakasih bagi anda yang telah berkunjung ke blog saya, kali ini saya akan
membahas tentang makalah AL MASYAQQAH TAJLIBUT TAYSIR,
bagi kalian yang sedang mencari referensi tentang makalah gadai saya ijinkan
untuk di copy, tapi tolong diperhatikan bahwa jadikan makalah ini hanya sebagai
referensi, hilangkan budaya copas.
BAB I
PENDAHULUAN
Allah SWT sebagai musyarri’ memiliki
kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasaan-Nya itu Dia mampu menundukkan
ketaatan manusia untuk mengabdi pada-Nya. Agar dalam realisasi penghambaan itu tidak
terjadi kekeliruan maka Dia membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagai
syariah demi kemaslahatan manusia sendiri. Tentunya syariah itu disesuaikan
dengan tingkat kemampuan dan potensi yang dimiliki seorang hamba, karena pada
dasarnya syariah itu bukan untuk kepentingan Tuhan melainkan untuk kepentingan
manusia sendiri.[1]
Dalam
pada ini, Allah SWT memberikan 3 alternatif bagi perbuatan manusia, yakni
positif (wajib), cenderung kepositif (sunnah), cenderung kenegatif (makruh) dan
negatif (haram). Untuk realisasi kelima alternatif itu selanjutnya Allah SWT
memberikan hukum keharusan yang disebut dengan Azimah yakni keharusan untuk
melakukan yang positif dan keharusan untuk meninggalkan yang negatif. (Wahbah
as Zuhaili 1982:40)
Namun tidak semua keharusan itu dapat
dilakukan manusia, mengingat potensi atau kemampuan yang dimiliki manusia
berbeda-beda. Dalam kondisi semacam ini, Allah SWT memberikan hukum rukhsah
yakni keringanan-keringanan tertentu dalam kondisi tertentu pula. Sehingga
dapat dikatakan bahwa keharusan untuk melakukan azimah seimbang dengan dengan
kebolehan melakukan rukhsah. [2]
Allah
SWT berfirman:
ﻻﯾﻜﻠﻑ ﺍﷲ ﻧﻔﺴﺎ ﺍﻻ ﻮ
ﺴﻌﻬﺍ (ﺍﺑﻘﺮﺓ:٢٧٦)
“Allah
tidak membebani seseorang kecuali dalam batas kesanggupan” (QS. Al Baqarah:
286)
Bagi
Asy-Syahibi, kesulitan itu dihilangkan bagi orang mukallaf karena dua sebab.
Pertama, karena khawatir akan terputuskan ibadah, benci terhadap ibadah, serta
benci terhadap taklif, dan khawatir akan adanya kerusakan bagi orang mukallaf,
baik jasad, akal, harta maupun kedudukannya, karena pada hakikatnya taklif itu
untuk kemaslahatan manusia. Kedua, karena takut terkurangi kegiatan-kegitan
sosial yang berhubungan dengan sesama manusia, baik terhadap anak maupun
keluarga dan masyarakat sekitar, karena hubungan dengan hak-hak orang lain itu
juga termasuk ibadah pula. (Wahbah as Zuhaili, 1982:41-42)
Menurut
Dr. Wahab Az-Zuhaili, tujuan pokok terciptanya kaidah diatas adalah untuk
membuktikan adanya prinsip tasamuh dan keadilan dalam Islam agar Islam itu
terkesan tidak menyulitkan. Karena itu setiap kesulitan akan mendatangkan
kemudahan, dan kewajiban melakukan tasamuh jika dalam kondisi menyulitkan.
(Wahbah as Zuhaili, 1982:195-196)
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al Masyaqqah
Tajlibut Taysir
اﻠﻤﺸﻘﺔ ﺗﺠﻠﺐ ﺍﻠﺘﯿﺴﯾﺮ
“ Kesulitan
mendatangkan kemudahan”
Al-Masyaqqah menurut
ahli bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan,
kepayahan, kesulitan, dan kesukaran, seperti terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 7:
ﻮﺘﺤﻤﻞ ﺃﺛﻘﺎ ﻠﮕﻢ ﺇﻟﻰ ﺒﻠﺪ ﻟﻢ ﺘﮕﻮﻨﻮﺍ ﺑﺍﻠﻐﯿﻪ
ﺇﻻ ﺒﺸﻖ ﺍﻷﻨﻔﺲ
“Dan ia memikul beban-bebanmu kesuatu
negeri yang tidak sampai ketempat tersebut kecuali dengan kelelahan diri
(kesukaran)”.[3]
Sedang
Al Taysir secara etimologis berarti kemudahan, seperti didalam hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan oleh :
ﺍﻟﺪﻴﻦ ﻴﺴﺮ ﺍﺤﺐ ﺍﻟﺪﻴﻦ ﺍﻠﻰ ﺍﷲ ﺍﻟﺤﻧﻔﻴﺔ
ﺍﻠﺴﻤﺤﺔ ﴿ﺮﻮﺍﻩﺍﻟﺑﺧﺮﻰ﴾
“Agama itu memudahkan, agama yang
disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”(HR.
Bukhari dari Abu Hurairah)[4]
Jadi
makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya
adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan
kesukaran bagi mukkallaf (subjek hukum), sehingga syariah meringankannya
sehingga mukkallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
1.
B. Klasifikasi Kesulitan
1.
Kesulitan Mu’tadah
Kesulitan Mu’tadah adalah kesulitan
yang alami, dimana manusia mampu mencari jalan keluarnya sehingga ia belum
masuk pada keterpaksaan. Karena itu Ibnu Abdus Salam mengatakan bahwa kesulitan
semacam ini tidak mengugurkan ibadah dan ketaatan juga tidak meringankan,
karena hal itu diberi keringanan berarti akan mengurangi kemaslahatan syariah
itu sendiri. Sedang Ibnu Qayyim menyatakan bahwa bila kesulitan berkaitan
dengan kepayahan, maka kemaslahatan dunia akhiran dapat mengikuti kadar
kepayahan itu (Wahbah az-Zuhaili, 1982: 196-197).[5]
b.Kesulitan
Qhairu Mu’tadah
Kesulitan Qhairu Mu’tadah adalah
kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia tidak mampu memikul
kesulitan itu, karena jika dia melakukannya niscaya akan merusak diri dan
memberatkan kehidupannya, dan kesulitan-kesulitan itu dapat diukur oleh
kriteria akal sehat, syariat sendiri serta kepentingan yang dicapainya.
Kesulitan ini diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhshah). Seperti wanita
yang selalu istihadlah, maka wudhunya cukup untuk shalat wajib serta untuk
shalat sunah yang lainnya tidak diwajibkan, dan diperbolehkan shalat khauf bagi
mereka yang sedang berperang, dan sebagainya. Wahbah az-Zuhaili, 1982:
199-200).[6]
1.
C. Tingkatan Kesulitan Dalam
Ibadah
Para ulama membagi masyaqqah ini
menjadi tiga bagian :
1.
al-Masyaqqah al-‘Azhimmah (
kesulitan yang sangat berat), seperti kekhawatiran yang akan hilangnya jiwa
dan/atau rusaknya anggota badan. Hilangnya jiwa dan /atau anggota badan
mengakibatkan kita tidak bisa melaksanakan ibadah dengan sempurna. Masyaqqah
semacam ini membawa keringanan.
2.
al-Masyaqqah al-mutawasithah (kesulitan
yang pertengahan, tidak sangat berat juga sangat tidak ringan). Masyaqqah
semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang
sangat berat, maka ada kemudahan disitu. Apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang
ringan, maka tidak ada kemudahan disitu. Inilah yang penulis maksud bahwa mayaqqah itu
bersifat individual.
3.
al-Masyaqqah al-Khafifah (
kesulitan yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, terasa capek waktu
tawaf dan sai, terasa pening waktu rukuk dan sujud, dan lain sebagainya. Masyaqqah semacam
ini dapat ditanggulangi dengan mudah yaitu dengan cara sabar dalam melaksanakan
ibadah. Alasannya, kemaslahatan dunia dan akhirat yang tercermin dalam ibadah
tadi lebih utama daripada masyaqqah yang ringan ini.[7]
D. Sebab-Sebab Adanya Kesulitan
Abdurrahman
as Suyuti dalam al Asyba’ wan Nadhoirnya menyebutkan 7 macam sebab-sebab yang
menyebabkan kesulitan :
1.
Karena safar (bepergian)
Misalnya
boleh mengqashar shalat, boleh berbuka puasa, meninggalkan salat jum’at.
1.
Keadaan sakit
Misalnya
boleh tayamum ketika sulit memakai air, shalat fardu sambil duduk, berbuka
puasa bulan Ramadhan dengan kewajiban qadha setelah sehat, ditundanya
pelaksanaan had sampai terpidana sembuh, wanita yang sedang menstruasi.
1.
Keadaan terpaksa yang membahayakan
kepada kelangsungan hidupnya. Setiap akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa
maka akad tersebut tidak sah seperti jual beli, gadai, sewa menyewa, karena
bertentangan dengan prinsip ridha (rela), merusak atau menghancurkan barang
orang lain karena dipaksa.
2.
Lupa (al nisyam)
Misalnya
seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa mengerjakan shalat lalu
teringat dan melakukannya diluar waktunya, lupa berbicara diwaktu shalat
padahal belum melakukan salam.
Sabda
Nabi SAW:
ﻭﺿﻊ ﻋﻦ ﺍﻤﺘﻰ ﺍﻟﺧﻄﺄ ﻭﺍﻟﻧﺴﻴﺎﻦ ﻭﻤﺎ ﺍﺴﺘﻜﺭ
ﻫﻭﺍ ﻋﻟﻴﻪ ﴿ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺒﻴﻬﻗﻰ﴾
(Diangkat
pena dari penulis dosa pada ummatku ketika salah, lupa dan terpaksa). (HR.
Baihaqic dari Ibnu Umar)
1.
Karena Jahl (Bodoh)
Misalnya
memakan bangkai tetapi tidak mengerti bahwa bangkai itu diharamkan. Termasuk
juga tergolong orang yang idiot.
1.
Karena Usrun dan Umumul Balwa
(Kesulitan)
Misalnya
dibolehkan istinja’ dengan batu, kebaikan memakai sutra bagi laki-laki yang
sakit, jual beli dengan akad salam, adanya khiar dalam jual beli dan shalat
dengan najis yang sulit untuk dihilangkan.
1.
Karena Naqsh (Kekurangan)
Misalnya
wanita kadang-kadang haid dalam setiap bulannya maka diperingankan untuk tidak
mengikuti jumat, karena jumat membutuhkan waktu lama dan dikhawatirkan dalam
kondisi jumat itu datang bulan. ( as- Suyuthi, TT : 56-57).
E. Bentuk-Bentuk Keringanan Dalam Kesulitan
Keringanan atau kemudahan karena adanya masyaqqah setidaknya
ada tujuh macam, yaitu :
1.
Takhfif isqath/rukhsah isqath, yaitu
keringanan dalam bentuk penghapusan seperti tidak shalat bagi wanita yang
sedang menstruasi atau nifas. Tidak wajib haji bagi yang tidak mampu
(Istitha’ah).
2.
Takhfif tanqish, yaitu
keringanan berupa pengurangan, seperti shalat Qashar dua rakaat yang asalnya
empat rakaat.
3.
Takhfif abdal, yaitu
peringanan yang berupa penggantian, sepertu wudhu dan/atau mandi wajib diganti
tayamum, atau berdiri waktu shalat wajib digant dengan duduk karena sakit.
4.
Takhfif taqdim, yaitu
keringanan dengan cara didahulukan, seperti jama’taqdim di
Arafah; mendahulukan mengeluarkan zakat sebelum haul (batas waktu satu tahun);
mendahulukan mengeluarkan zakat fitrah di bulan Ramadhan; jama’taqdim bagi
yang sedang bepergian yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya.
5.
Takhfif ta’khir, yaitu
keringanan dengan cara diakhirkan, seperti shalat jama’ takhir di
Muzdalifah, qadha saum Ramadhan bagi yang sakit, jama’
ta’khir bagi orang yang sedang dalam perjalanan yang menimbulkan masyaqqah dalam
perjalanannya.
6.
Takhfif tarkhis, yaitu
keringanan karena rukhsah, seperti makan dan minum yang diharamkan dalam
keadaan terpaksa, sebab bila tidak, bisa membawa kematian.
7.
Takhfif taghyir, yaitu
keringanan dalam bentuk berubahnya cara yang dilakukan, seperti shalat pada
waktu khauf (kekhawatiran), misalnya pada waktu perang.[8]
8.
F. Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan
Dengan Kondisi Menyulitkan
a.
Kaidah pertama :
ﺍﺬﺍ ﺿﺍﻖ ﺍﻻﻤﺭ ﺍﺘﺴﻊ ﻭﺍﺬﺍ ﺍﺘﺴﻊ ﺍﻻﻤﺭﺿﺍﻖ
“apabila suatu perkara itu sempit maka
hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika suatu perkara itu luas maka hukumnya
menjadi sempit.”
Kaidah
itu dikumandangkan oleh Imam Syafi’I, kemudian diteruskan oleh Al-Ghazali
dengan redaksi yang berbeda :
ﻜﻝ ﻤﺍ ﺘﺠﺍﻭﺯ ﺤﺪﻩ ﺍﻧﻌﻜﺲ ﺍﻠﻰ ﻀﺪﻩ
“ semua yang melampaui batas,
maka (hukumnya) berbalik kepada kebalikannya”.
Misalnya
boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan ketika sakit atau bepergian jauh. Sakit
dan bepergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu
kebolehan berbuka. Akan tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka
hukumnya wajib melakukan puasa itu kembali.
b.
Kaidah kedua :
ﺇﺫﺍ ﺗﻌﺫﺭ ﺍﻷﺼﻝ ﻴﺼﺍﺭ ﺇﻠﻰ ﺍﻠﺑﺪﻝ
“ Apabila yang asli sukar dikerjakan
maka berpindah kepada penggantinya”
Misalnya
tayamum sebagai pengganti wudhu. Orang yang meminjam suatu benda, kemudian
benda itu hilang (misalnya, buku), maka penggantinya buku yang sama baik judul,
penerbit, maupun cetakannya, atau diganti dengan harga buku tersebut dengan
harga dipasaran.
c.
Kaidah ketiga
ﻤﺎ
ﻻ ﻴﻤﻜﻦ ﺍﻠﺘﺤﺮﺯ ﻤﻨﻪ ﻤﻌﻔﻭ ﻋﻧﻪ
“Apa yang tidak mungkin menjaganya
(menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan”
Misalnya
pada waktu sedang berpuasa, kita berkumur-kumur, maka tidak mungkin terhindar
dari rasa air dimulut atau masih ada sisa-sisa.
d.
Kaidah keempat
ﺍﻠﺮﺧﺹ
ﻻ ﺘﻨﺎﻄ ﺑﺎﻠﻤﻌﺼﻰ
“ Keringanan itu tidak dikaitkan dengan
kemaksiatan”
Kaidah
ini digunakan untuk menjaga agar keringanan-keringanan didalam hukum tidak
disalahgunakan untuk melakukan maksiat. Misalnya orang yang bepergian untuk
berjudi kehabisan uang atau kelaparan kemudian ia makan daging babi. Maka dia
tidak dipandang sebagai orang yang menggunakan rukhsah, tetapi tetap berdosa
dengan makan daging babi tersebut. Lain halnya dengan orang yang bepergian
dengan tujuan yang dibolehkan seperti untuk usaha yang halal, kemudian
kehabisan uang dan kelaparan, serta tidak ada makanan kecuali yang diharamkan,
maka memakannya dibolehkan.
e.
Kaidah kelima
ﺇﺬﺍ
ﺘﻌﺫﺭﺖﺍﻠﺤﻘﻴﻘﺔ ﻴﺻﺎﺮ ﺇﻠﻰ ﺍﻟﻤﺠﺎﺯ
“Apabila suatu kata sulit diartikan
dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti
kiasannya”
Misalnya
seseorang berkata: “Saya wakafkan tanah saya ini kepada anak Kyai Ahmad”.
Padahal semua tau bahwa anak kyai tersebut sudah lama meninggal, yang ada
hanyalah cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab tidak
mungkin mewakafkan kepada orang yang sudah meninggal dunia.
f.
Kaidah keenam
ﺇﺬﺍ
ﺗﻌﺬﺭ ﺇﻋﻤﺎﻞ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﻴﻬﻤﻞ
“Apabila sulit mengamalkan suatu
perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan”
Misalnya
seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang yang
meninggal, kemudian setelah diteliti, dia lebih tua dari pada orang telah
meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya. Maka perkataan orang tersebut
ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
1.
Kaidah ketujuh
ﻴﻐﺘﻔﺭ
ﻔﻲ ﺍﻟﺪﻮﺍﻡ ﻤﺎ ﻻ ﻴﻐﺘﻔﺮ ﻔﻲ ﺍﻹﺒﺘﺪﺍﺀ
“Bisa dimaafkan pada kelanjutan
perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya”
Misalnya
orang yang menyewa rumah yang diharuskan membayar uang muka oleh pemilik rumah.
Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin memperbarui dalam arti
melanjutkan sewaannya, maka ia tidak perlu membayar uang muka lagi.
1.
Kaidah kedelapan
ﻴﻐﺘﻔﺮ
ﻔﻲ ﺍﻹﺑﺘﺪﺍﺀ ﻤﺎ ﻻ ﻴﻐﺘﻔﺮ ﻔﻲ ﺍﻟﺪﻭﺍﻡ
“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak
dimaafkan pada kelanjutannya”
Misalnya
seseorang yang baru masuk Islam minum minuman keras karena kebiasaannya sebelum
masuk Islam dan tidak tau bahwa minuman semacam itu dilarang (haram). Maka
orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya.
Selanjutnya, setelah dia tau bahwa perbuatan tersebut adalah haram, maka ia
harus menghentikan perbuatan haram tersebut.
1.
Kaidah kesembilan
ﻴﻐﺘﻔﺮ
ﻔﻲ ﺍﻟﺘﻭﺍﺑﻊ ﻤﺎ ﻻ ﻴﻐﺘﻔﺮ ﻔﻲ ﻏﻴﺮﻫﺎ
“Dapat dimaafkan pada hal yang
mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Misalnya penjual boleh menjual kembali
karung bekas tempat beras, karena karung mengikuti kepada beras yang dijual.
Demikian juga boleh mewakafkan kebun yang sudah rusak tanamannya karena tanaman
mengikuti tanah yang diwakafkan.[9]
BAB III
PENUTUP
Al-Masyaqqah menurut
ahli bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan,
kepayahan, kesulitan, dan kesukaran.
Sedang
Al Taysir secara etimologis berarti kemudahan.
Jadi
makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya
adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penarapannya menimbulkan kesulitan dan
kesukaran bagi mukkallaf (subjek hukum), sehingga syariah meringankannya
sehingga mukkallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
1.
Klasifikasi Kesulitan
1.
Kesulitan Mu’tadah
1.
Kesulitan Qhairu Mu’tadah
2.
Tingkatan Kesulitan Dalam Ibadah
Para ulama membagi masyaqqah ini
menjadi tiga bagian :
1.
al-Masyaqqah al-‘Azhimmah (
kesulitan yang sangat berat),
2.
al-Masyaqqah al-mutawasithah (kesulitan
yang pertengahan, tidak sangat berat juga sangat tidak ringan),
3.
al-Masyaqqah al-Khafifah (
kesulitan yang ringan).
4.
Sebab-Sebab Adanya Kesulitan
Abdurrahman
as Suyuti dalam al Asyba’ wan Nadhoirnya menyebutkan 7 macam sebab-sebab yang
menyebutkan kesulitan :
Karena
safar (bepergian), Keadaan sakit, Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada
kelangsungan hidupnya, Lupa (al nisyam), Karena Jahl (Bodoh), Karena, Usrun dan
Umumul Balwa (Kesulitan), Karena Naqsh (Kekurangan).
D.
Bentuk-Bentuk Keringanan Dalam Kesulitan
Keringanan atau kemudahan karena adanya masyaqqah setidaknya
ada tujuh macam, yaitu :
Takhfif isqath/rukhsah isqath, Takhfif
tanqish, Takhfif abdal, Takhfif taqdim, Takhfif ta’khir, Takhfif tarkhis,
Takhfif taghyir,
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, A, Kaidah-Kaidah Fiqh.
Jakarta : Kencana: 2006
Ustman, Mukhlis, Kaidah-Kaidah
ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada: 1997
[1] Mukhlis usman,
MA. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah.
Jakarta: Raja Grafindo Persada:1997. Hal 124
[2] Ibid, hal 125
[3] Prof. H. A. Djazuli.
Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta:Kencana, 2006. hal 55
[4] Al Burnu, Muhammad Shiddiq bin
Ahmad, al-Wajiz fi Idhah, al-Qawai’id al Fiqhiyah, cet
I, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1404 H/1983 M), hal. 129
[5] Ibid, hal 126
[6] Ibid, hal 127
[7] Prof. H. A. Djazuli. Kaidah-Kaidah
Fiqih. Jakarta:Kencana, 2006. hal 57-58
[8] Ibid, hal 58
[9] Ibid, hal 59-65
No comments:
Post a Comment