BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Masyarakat/ negara yang dibangun oleh Rasulullah SAW telah
memberikan bebeberapa latar belakang dan model awal instrumen-instrumen dan
institusi-institusi yang menjadi pilar penting keberadaan sebuah
masyarakat-negara. Maka jika dalam perspektif ilmu ketatanegaraan modern
mengenal tiga lembaga kekuasaan negara atau yang disebut sebagai trias
politica yakni kekuasaan lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif
maka ternyata Rasulullah SAW telah mempraktekkan tiga bentuk institusi
tersebut.
Dalam konteks bahasan ini, penulis akan berupaya
mengeksplorasi sejarah salah satu institusi trias politica tersebut
yaitu institusi yudikatif (peradilan) di zaman Nabi. Kajian terhadap tema ini
akan menemukan arti pentingnya karena dengan mengerti dan memahami sejarah awal
dan konsepsi peradilan di zaman Nabi akan memudahkan siapa saja untuk lebih
mengenal semangat keadilan yang dibawa oleh ajaran Islam itu sendiri.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana sistem peradilan Islam pada masa
Rasulullah SAW ?
2.
Apa sumber hukum peradialan Islam pada
masa Rasulullah SAW ?
3.
Bagaimana proses peradialan Islam pada
masa Rasullulah SAW ?
4.
Apa saja perangkat lain dalam system
peradilan pada masa Nabi SAW ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Sistem Peradilan pada Masa Rasulullah SAW
a) Nabi SAW sebagai Satu-satunya
Pemegang Otoritas Jurisdiksi
Sejarah
kenabian dimulai ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali di Gua
Hira, kira-kira saat beliau berusia 40 tahun. Setelah kurang lebih 13 tahun
menyampaikan risalahnya di Mekah dengan fokus da’wah mengajak manusia untuk
bertauhid kepada Allah secara murni dan meninggalkan berhala-berhala. Kemudian
sesampainya di Madinah, Rasulullah SAW mulai membangun sebuah masyarakat dan
negara dengan menegakkan hukum-hukum dan syariat Allah yang nantinya akan
menjadi pedoman bagi manusia sepanjang sejarah. Prinsip kehidupan yang dibangun
Nabi SAW sendiri basisnya didasarkan pada prinsip Tauhid yang meletakkan
manusia berkedudukan setara di hadapan Allah dan hukum-hukumNya. Maka dari itu
keadilan dipandang sebagai satu elemen yang sangat mendasar dan senantiasa
ditegaskan oleh Allah dalam beberapa ayat-ayat Al-Quran seperti dalam QS.
Al-Nisā: 57, QS. Al-Māidah : 8 , QS. Al-An`ām:153 dan lain-lain.
Keberadaan
Nabi SAW sendiri di masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat dari konsep
ketatanegaraan modern menggabungkan ketiga institusi trias politica yaitu
kekuasaan legislatif (sulţah tashrī`iyah), kekuasaan eksekutif (sulţah
tanfīdziah) dan kekuasaan judikatif (sulţah qadlāiyah) sekaligus.
Sebagai seorang penerima sekaligus penyampai wahyu dari Allah, Nabi Muhamad SAW
merupakan satu-satunya sumber segala hukum dan tata aturan. Bahkan segala
perbuatan dan ucapannya juga diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus
ditaati. Sedangkan unsur kekuasaan eksekutif Rasulullah dapat dilihat dari
pelaksanaan beliau dan pengejawantahan hukum-hukum Allah/syariat Islam serta
menegakkannya dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.
Adapun
kekuasaan judikatif Rasulullah diperlukan dalam kerangka penegakan keadilan dan
pemeliharaan hak-hak masyarakat waktu itu yang terkadang mengalami perselisihan
atau persengketaan antar pemiliknya. Proses yang dilakukan pun menjadi penting
sebagai cara penguatan sistem sebuah masyarakat-negara yang baru lahir dan
sedang dibangun dimana nantinya akan diteladani oleh umat Islam secara
keseluruhan di masa-masa berikutnya. Sebagai catatan, dengan mengutip pendapat
Syaikh `Abdul Wahhāb Khallāf, bahwa penyatuan tiga kekuasaan judikatif,
legislatif dan eksekutif sekaligus di kedua tangan seorang Nabi SAW ini
tidaklah menimbulkan kekhawatiran tejadinya penyalahgunaan kekuasaan atau
tuntutan pemisahan jabatan dengan alasan-alasan kekhawatiran lainnya karena
jaminan ke-ma`şum-an Rasulullah (terjaga dari dosa)[1] dan
sekaligus sebagai teladan bagi umat.
Sementara itu, Piagam Madinah (al-Mītsāq al-Madani) sebagai undang-undang
tertulis yang disusun tidak lama setelah sampainya Rasulullah di Madinah
memiliki muatan-muatan yang mengatur hubungan sosial-politik masyarakat baru di
Madinah dimana di dalam salah satu pasalnya menegaskan kewajiban unsur-unsur
anggota masyarakat tersebut, khususnya dari kalangan orang-orang muslim, untuk
saling bertanggungjawab secara bersama-sama terhadap keamanan umum dalam negeri
Madinah.[2] Dalam
teks piagam tersebut disebutkan bahwa masing-masing orang mu’min
bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi disekitarnya meskipun hal itu
dilakukan oleh anaknya sendri.[3] Adapun
jika terjadi terjadi perselisihan dan persengketaan maka otoritas legislasi dan
jurisdiksi berada di tangan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana juga dikatakan
oleh teks piagam tersebut.[4]
Otoritas jurisdiksi yang hanya dimiliki Rasulullah ini dengan sangat tegas juga
ditekankan oleh Al-Quran sebagaimana dalam QS. Al-Nisā’: 65.
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
(65)
“Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
b) Penunjukan Sahabat sebagai Qādli
Sebagaimana
disingggung di muka, bahwa Nabi SAW merupakan satu-satunya pemegang otoritas
jurisdiksi saat itu. Namun beberapa riwayat yang ada menunjukkan bahwa Nabi SAW
pernah menunjuk beberapa orang sahabatnya untuk menyelesaikan kasus-kasus
persengkataan tertentu. Sebagai contoh Nabi pernah mendelegasikan Hudzaifah
ibn al-Yamān al-`Absy untuk menyelesaikan perselisihan dua orang bersaudara
yang memperebutkan hidhār[5] atau
jidār rumah mereka.[6]
Nabi juga diriwayatkan pernah meminta `Amru ibn al-`Āş untuk memberi keputusan
pada sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang datang kepada Nabi
mengadukan persengketaan mereka. Nabi bersabda kepada `Amru: “Putuskanlah
perkara yang terjadi antara keduanya wahai `Amru.” Maka `Amru merasa kaget dan
berkata: “Akankah aku putuskan perkara keduanya sementara engkau berada bersama
kami wahai Rasulullah?”.[7]
Selain kepada dua sahabatnya seperti di atas, Nabi juga pernah meminta hal sama
kepada sahabat `Uqbah ibn `Amir al-Juhani untuk memutus satu perkara.[8] Nabi
diberitakan juga pernah mengirimkan Ma`qil ibn Yasār[9] -dan
dalam kesempatan berbeda- `Ali ibn Abu Ţālib sebagai qadli ke
Yaman.[10]
Sebagaian sahabat lain pernah ditunjuk Nabi SAW untuk menjadi wali (wakil
pemerintahan) beliau di suatu wilayah tertentu sekaligus sebagai
pelaksana qadlā seperti sahabat `Utāb ibn Asīd yang ditugaskan
Nabi menjadi wali Mekah setelah penaklukan (Fathu Makkah), atau
Mu`adz ibn Jabal yang diutus ke Al-Janad (sebuah wilayah di Yaman) untuk
mengajarkan Al-Qur’an dan syariat Islam, mengumpulkan zakat, sekaligus
menjalankan peradilan, Abū Mūsa al-‘Ash`ari diutus ke bagian lainnya di Yaman
(daerah Zabīd, `Adn), serta Al-`Alā’ al-Hadlrāmi ke Bahrain.[11] Dalam
kasus lain, saat Nabi SAW keluar dari Madinah untuk sebuah keperluan, Nabi
mewakilkan pemerintahan Madinah –termasuk diantara bagiannya adalah institusi
jurisdiksinya- kepada para sahabatnya seperti Sa’ad ibn `Ubādah ketika beliau
keluar ke medan Perang al-Abwā’ atau Sa`īd ibn Madh`ūn ketika terjadi Perang
Buwāţ.[12]
Dari uraian di atas,
yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi SAW tidak pernah mengangkat seorangpun
yang secara khusus mengemban tugas “profesi” sebagai qādli maupun
memberikan mandat jurisdiksi (qadlā’) secara penuh kepada
sahabat-sahabat beliau untuk melakukan tugas tersebut secara multak tanpa
batasan tempat dan waktu. Akan tetapi pemberian otoritas jurisdiksi oleh Nabi
kepada sahabatnya tersebut paling tinggi terjadi saat beliau menujuk wakilnya
untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di daerah tertentu sebagai bagian
dari wilayah `āmmah.[13] Hal
itu sebagai tuntutan dari konsekuensi dari semakin meluasnya daerah-daerah
kekuasaan Islam.
2. Sumber Hukum Peradilan
Sebagai
seorang Qādli (pemegang otoritas jurisdiksi) Nabi SAW telah
menjalankan perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan yang
terjadi pada zaman itu. Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang merupakan implementasi
langsung dari aturan-aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran, seperti saat
Nabi SAW memerintahkan pemotongan tangan seorang perempuan Bani Makhzūm yang
mencuri, sebagai pelaksanaan kandungan ayat QS. Al-Mā’idah: 38.[14]
Namun,
Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu perkara dengan ijtihad belaiu dalam
beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya secara eksplisit dalam
al-Quran seperti ketika beliau memberikan kebebasan kepada seorang anak yang
telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya bercerai.[15] Mengenai
keberadaan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum peradilan di zaman ini
secara lebih tegas diungkapkan oleh Nabi sendiri ketika memberikan
putusan kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah masalah waris. Nabi
SAW bersabda:
إِنِّى إِنَّمَا أَقْضِى بَيْنَكُمْ
بِرَأْيِى فِيمَا لَمْ يُنْزَلْ عَلَىَّ فِيهِ
“Sesungguhnnya aku metutuskan
berdasarkan pandanganku, dalam perkara yang belum ada wahyu yang diturunkan
kepadaku”.[16]
Putusan Nabi berdasarkan ijtihad ini bagi umatnya dengan sendirinya tentu saja
menjadi bagain dari sumber hukum itu sendiri karena posisi Nabi sebagai
penyampai tashrī`` dari Allah atau sebagai musharri`.[17] Persoalan
ini bisa lebih dilihat secara lebih jelas melalui sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Mu’ādz ibn Jabal. Salah seorang sahabat yang pernah ditugaskan oleh Nabi
sebagai qādli ini meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika akan
mengirimnya ke Yaman bertanya: “Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara
yang dibawa orang kepadamu?”. “Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut
dalam Kitabullah.” Jawab Mu’ādz. Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau engkau
tak menemukan hal itu dalam Kitabullah, bagaimana?”. Mu’ādz menjawab: “Saya
akan memutuskannya menurut Sunah Rasul-Nya”. Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi:
“Kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam Sunnah Rasulullah dan tidak pula
dalam Kitabullah, bagaimana?” Lalu Mu’adz menjawab: “Jika tidak terdapat
dalam keduanya saya akan berijtihad sepenuh kemampuan saya.” Mendengar
jawaban itu, Rasulullah SAW lalu menepukkan kedua tangannya ke dada Mu’ādz dan
berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan
Rasulullah, kepada apa yang diridlainya.” [18]
3. Proses Peradilan
Pada
zaman Nabi SAW proses peradilan berlangsung dengan sangat sederhana. Jika ada
seseorang yang menemui satu permasalahan maka ia dapat bersegera datang kepada
Nabi untuk meminta putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari
tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan (qadlā’) yang
dilakukan oleh Nabi lebih bersifat sebagai “fatwa”[19] dengan
model tanya-jawab, dibandingkan dengan proses sebuah “pengadilan” dalam bahasa
yang sering dipahami di masa sekarang.
Namun
meskipun proses peradilan ini berlangsung sangat sederhana, Rasulullah
menyaratkan bahwa ketika terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling
mengklaim kebenaran sebuah keputusan tidak boleh diambil kecuali setelah sang
pengambil keuputusan (qādli) mendengarkan pelaporan dari kedua belah
pihak.
عن علي قال : قال لي رسول الله صلى
الله عليه و سلم إذا تقاضى إليك رجلان فلا تقض للأول حتى تسمع كلام الآخر فسوف
تدري كيف تقضي
Dari Ali r.a berkata: “Rasulullah SAW berkata kepadaku: “Jika
datang kepadamu dua orang untuk meminta putusan dari mu, maka janganlah engkau
beri putusan kepada orang pertama sebelum engkau mendengarkan juga (laporan)
dari orang kedua, sehingga engkau tahu bagaimana seharusnya kamu memutuskan.”[20]
Dalam konteks ini Nabi SAW juga mengharuskan adanya bukti yang dibawa oleh
pelapor dan sumpah bagi yang dilaporkan. Dalam sebuah riwayat dari Ibn `Abbās
Nabi SAW bersabda:
لو يعطى
الناس بدعواهم لادعى رجال اموال قوم ودماء هم ولكن البينة على المدعى واليمين على
من انكر
“Seandainya
setiap orang diberikan apa-apa yang mereka klaim, maka orang-orang akan mengklaim
harta-harta atau jiwa-jiwa suatu kaum. Tetapi (semestinya adalah) bahwa bukti
harus didatngkan oleh orang yang mengklaim (pelapor) dan sumpah harus diberikan
oleh yang dilaporkan”.[21]
Adapun mengenai masa yang dibutuhkan bagi berlangsungnya proses mulai dari
putusan hingga eksekusi tidak menunggu waktu melainkan dijalankan secara
langsung. Kesimpulan ini bisa dipahami dari beberapa hadits seperti saat Nabi
memutuskan persengketaan Ka`ab ibn Malik dengan Ibn Abi Hadrad mengenai
piutangnya. Nabi memutuskan agar Ka`ab mengambil separuh dari piutangnya dan
merelakan separuhnya. Saat itu juga Nabi memerintahkan Ka`ab untuk segera
melaksanakan putusan tersebut dengan mengatakan “Qum fa iqdlihi” (Lekaslah
berdiri wahai Ka`ab dan tunaikanlah!).[22]
4. Perangkat-perangkat Lain
dalam Sistem Peradilan pada Masa Nabi
Dalam
Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan sebuah sistem yang selain
mencakup proses peradilan atau arbitrasi itu sendiri juga mencakup hal-hal atau
lembaga lainnya yang saling mendukung satu sama lain. Dalam diskursus
jurisprudensi Islam yang berkembang kemudian, selain istilah qadlā’ (yang
berarti peradilan secara umum) dikenal pula istilah Hisbah dan al-Madzalim. [23]
Hisbah didefinisikan
sebagai “memerintahkan hal-hal yang baik (ma`rūf) ketika telah mulai
ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran ketika dikerjakan”.[24] Dalam
perkembangan system peradilan Islam yang terjadi kemudian hisbah menjadi
sebuah lembaga (dan petugasnya disebut dengan muhtasib) yang
bertugas menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak
istimewa untuk menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang
mungkin dikerjakan.
Dan
ternyata, konsep lembaga ini jika dirunut memiliki akar historis pada zaman Rasulullah.
Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Rasulullah senantiasa memeriksa keadaan dan
kondisi berbagai sisi hidup umatnya. Suatu ketika, saat berjalan-jalan
(melakukan inspeksi) di pasar Nabi menjumpai kecurangan yang dilakukan oleh
seorang pedagang makanan dan kemudian menegurnya.[25]
Sama halnya dengan hisbah, peradilan madzālim juga
telah memiliki dasar sejarah di zaman Nabi. Madzālim merupakan
institusi pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil dari seseorang yang
berpengaruh, sehingga sulit bagi pengadilan biasa untuk menyelesaikannya. Nabi
pernah mencontohkan pembelaan madzālim ini untuk umatnya atas
dirinya sendiri dengan mengatakan “barangsiapa yang hartanya telah terambil
olehku maka inilah hartaku, aku persilahkan dirinya mengambilnya.”[26]
Adapun
lembaga sistem peradilan yang lain seperti kepolisian dan penjara, dari catatan
sejarah yang ada dapat disimpulkan tampaknya kedua institusi tersebut belum
pernah ada di zaman Nabi. Sedangkan konsep “lembaga pengawasan” terhadap
peradilan juga bisa ditemukan dalam sejarah peradilan di zaman Nabi. Fungsi
pengawasan itu dilakukan oleh wahyu Allah terhadap Nabi Saw. Rasulullah juga
melakukan pengawasan serta evaluasi terhadap para sahabat yang ditunjuknya
untuk menjalanakan peradilan sebagaimana diindikasikan dalam riwayat Hudzaifah
ibn Al-Yaman dan Ali yang usai menyelesaikan putusannya melaporkannya kepada
Nabi, dimana Nabi kemudian membenarkannya. Jika putusan kedua sahabat itu
salah, tentu Nabi-pun akan segera mengoreksinya.[27]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari paparan mengenai sejarah
peradilan di zaman Nabi di atas, akhir tulisan ini akan ditutup dengan beberapa
poin penting yang merepresentasikan saripati hasil kajian ini yaitu:
1. Peradilan pada zaman Nabi merupakan
fase paling penting dalam sejarah peradilan Islam. Pada
saat itu Nabi SAW merupakan merupakan pemegang otoritas jurisdiksi satu-satunya
meskipun beliau juga pernah mendelegasikan tugas-tugas jurisdiksi
tersebut kepada beberapa orang sahabat secara terbatas. Pada zaman itu lembaga
peradilan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pemegang kekuasaan
pemeritahan secara umum (wilayah `ammah).
2. Sumber hukum yang menjadi referensi
utama bagi pemegang otoritas jurisdiksi adalah wahyu -baik berupa al-Qur’an
maupun Sunnah Nabi SAW- serta ijtihad. Peradilan di zaman Nabi dan yang
dilakukan oleh Nabi sendiri merupakan penerjemahan langsung dari ayat-ayat
dan sunnah qawliyah Nabi yang diimplementasikan dalam
praktik-praktik yang ideal.
3. Proses peradilan zaman Nabi SAW
berlangsung sangat sederhana dan tidak berbelit-belit, namun justru lebih
mementingkan substansi dari pada prosesi.
4. Sistem peradilan saat itu juga
memberikan pijakan dan prinsip dasar bagi perkembangan sistem peradilan yang
berkembang kemudian dalam peradaban Islam yang mencakup penguatan lembaga-lembaga
baru seperti hisbah dan peradilan madzālim.
DAFTAR PUSTAKA
`Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt
al-Tsalāts fī al-Islām: Al-Tashrī`, al-Qadlā’, al-Tanfīdz, Kuwait, Dār
al-Qalam, Cet. 2, 1405H/1985M
`Ali ibn `Umar Abu al-Hasan
al-Dāraquţni al-Baghdādi, Sunan al-Dāraquţni, Tahqiq: Al-Sayyid
`Abdullah Hāshim Yamāni al-Madani, Beirut, Dar al-Ma`rifah, 1386H/1966
Abū Dāwud Sulaymān ibn al-Ash`ats
al-Sijistāni, Sunan Abī Dāwud, Beirut, Dār al-Kitāb al-`Arabi
Abu Muhamad `Abd al-Malik Ibn
Hishām ibn Ayyūb al-Himyari, Al-Sīrah al-Nabawiyyah, Tahqiq:
Ţāhā `Abd al-Ra’ūf Sa`ad, Beirut, Dar al-Jīl, 1411H
Ahmad ibn Hanbal, Musnad
Ahmad ibn Hanbal, Tahqiq: Shu`aib al-Arna’ūţ .et.al, Beirut,
Mu’assasah al-Risalah, cet. 2, 1420H/1999M
Al-Bayhaqi, Al-Sunan al-Kubro,
vol. X, hlm. 252 dalam Software al-Maktabah al-Shāmilah
Al-Māwardi, Al-Ahkām
al-Sulţāniyah, dalam Software Al-Maktabah al-Shāmilah
Dr. Muhamad al-Zuhayli, Tārikh
al-Qadlā’ fī al-Islām, Beirut, Dār al-Fikr al-Mu`āşir & Damaskus, Dār
al-Fikr, Cet. 1, 1415/1995
Ibrāhīm Musthafā, dkk (Majma’
Al-Lughah Al-Arabiyah Mesir), Al-Mu’jam Al-Wasīth, Istanbul, Dār
al-Da’wah, 1989
[1]
`Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt
al-Tsalāts fī al-Islām: Al-Tashrī`, al-Qadlā’, al-Tanfīdz, Kuwait, Dār
al-Qalam, Cet. 2, 1405H/1985M, hlm. 27
[2]
Dr. Mahmūd `Ukāshah, Tārīkh
al-Hukm fī al-Islām, Kairo, Mu’assasah al-Mukhtār, Cet. 1, 2002,
hlm. 152
[3]
Ibn Hishām, Al-Sīrah al-Nabawiyyah,,
vol. III, hlm. 33. Teksnya berbunyi:
وإن المؤمنين
المتقين على من بغى منهم أو ابتغى دسيعة ظلم أو إثم أو عدوان أو فساد بين المؤمنين
وإن أيديهم عليه جميعا ولو كان ولد أحدهم
[4]
Ibn Hishām, Al-Sīrah
al-Nabawiyyah,, vol. III, hlm. 34-35. Teksnya berbunyi:
“وإنه ما
كان بين أهل هذه الصحيفة من حدث او اشتجار يخاف فساده فإن مرده إلى الله عز وجل
وإلى محمد رسول الله”
[5]
Hidhār (حظار
) adalah segala sesatu yang digunakan untuk sebagai pembatas. Lihat: Ibrāhīm
Musthafā, dkk (Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyah Mesir),Al-Mu’jam Al-Wasīth,
Istanbul, Dār al-Da’wah, 1989, hlm.183
[6]
Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī
al-Islām, hlm. 22; Diriwayatkan juga oleh Al-Dāraquţni. Lihat: `Ali
ibn `Umar Abu al-Hasan al-Dāraquţni al-Baghdādi, Sunan
al-Dāraquţni, Tahqiq: Al-Sayyid `Abdullah Hāshim Yamāni al-Madani, Beirut,
Dar al-Ma`rifah, 1386H/1966, vol. 4, hlm. 229
[7]
Lihat:
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal,
Tahqiq: Shu`aib al-Arna’ūţ .et.al, Beirut, Mu’assasah al-Risalah, cet. 2,
1420H/1999M, vol. 29, hlm. 357. Hadits. No. 17824.
[8]
Al-Dāraquţni, Sunan
al-Dāraquţni, vol. 4, hlm. 203
[9]Hadits
diriwayatkan oleh Imam Ahmad no. 20305. Lihat: Ahmad ibnHanbal, Musnad
Ahmad ibn Hanbal, vol. 33, hlm. 420; Muhamad al-Zuhayli,Tārikh
al-Qadlā’, hlm. 44
[10] Lihat:
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, vol.
II, hlm. 421. Hadits. No. 1280
[11]
Abdul
Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī al-Islām, hlm. 23; Muhamad
al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’, hlm. 46-47
[12]
Abdul
Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī al-Islām, hlm. 22
[13]
Hasan
Ibrāhīm Hasan, Tārikh al-Islām, vol. I, hlm. 394;
`Ali Husni al-Kharbuţli, Al-Hadlarah al-`Arabiyah
al-Islāmiyah, hlm. 45; `Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt
al-Tsalāts fī al-Islām, hlm. 21-22
[14]
Ayatnya yaitu: وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ
اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
[15] Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Lihat: Abū Dāwud Sulaymān ibn
al-Ash`ats al-Sijistāni, Sunan Abī Dāwud, Beirut, Dār al-Kitāb
al-`Arabi, vol. II, hlm. 251. Hadits No. 2279
[16]
Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud,
vol. III, hlm. 329. Hadits No. 3587
[17]
Pembahasan
mengenai ijtihad Nabi SAW maupun keberadaan beliau sebagai penyampai tashrī` ataupun
sebagai musharri` dapat ditelaah dalam buku-buku usūl
al-fiqh.
[18]
Abū
Dāwud, Sunan Abī Dāwud, vol. III, hlm. 330. Hadits No. 3594.
Sebagai catatan, kesahihan hadits ini diperdebatkan oleh para ulama hadits.
Sebagaian ahli hadits, diantaranya Syaikh Al-Albani men-dla`if-kan
hadits ini.
[19]
Abdul
Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī al-Islām, hlm. 24
[20]
HR.
Al-Tirmidzi dan dikatakan hasan oleh Al-Albāni. Lihat: Muhammad ibn `Īsā Abū
Īsā al-Tirmidzi, Al-Jāmi` al-Şahīh Sunan Al-Tirmidzi, Tahqiq: Ahmad
Muhamad Shākir et.all, Beirut, Dār Ihyā al-Turāts al-`Arabi, tt, vol. III, hlm.
618. Hadits no. 1331.
[21]
Al-Bayhaqi, Al-Sunan al-Kubro, vol. X, hlm. 252
dalam Software al-Maktabah al-Shāmilah. Hadits senada juga diriwayatkan oleh
Al-Tirmidzi dalam Al-Jāmi` al-Şahīh Sunan Al-Tirmidzi, vol. III, hlm.
626. Hadits no. 1341. Bunyi teksnya: أن النبي صلى الله عليه و سلم قال في خطبته
البينة على المدعي واليمين على المدعى عليه
[22]
Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud,
vol. III, hlm. 333. Hadits No. 3597. Bunyi hadits selengkapnya:
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِى يُونُسُ عَنِ ابْنِ
شِهَابٍ أَخْبَرَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ كَعْبَ بْنَ
مَالِكٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ تَقَاضَى ابْنَ أَبِى حَدْرَدٍ دَيْنًا كَانَ لَهُ
عَلَيْهِ فِى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْمَسْجِدِ
فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا حَتَّى سَمِعَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- وَهُوَ فِى بَيْتِهِ فَخَرَجَ إِلَيْهِمَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- حَتَّى كَشَفَ سِجْفَ حُجْرَتِهِ وَنَادَى كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ فَقَالَ «
يَا كَعْبُ ». فَقَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَأَشَارَ لَهُ بِيَدِهِ
أَنْ ضَعِ الشَّطْرَ مِنْ دَيْنِكَ قَالَ كَعْبٌ قَدْ فَعَلْتُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ. قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « قُمْ فَاقْضِهِ ».
[23]
Tentang hal ini lihat misalnya: Dr. Ahmad
Shalabi, Al-Tashrī` wa Al-Qadlā’ fi al-Fikr al-Islāmi, Kairo,
Maktabah al-Naldlah al-Mişriyah, Cet. 4, 1989, hlm. 229
[24]
Al-Māwardi, Al-Ahkām
al-Sulţāniyah, dalam Software Al-Maktabah al-Shāmilah, vol. I, hlm. 486
[25]
HR. Muslim dari Abu Hurayrah. Lihat: Muhamad al-Zuhayli, Tārikh
al-Qadlā’,hlm. 52. Teksnya berbunyi:
إن رسول الله صلى الله عليه وسلم
مر على صبرة طعام فأدخل يده فيها فنالت أصابعه بللا، فقال: ما هذا
يا صاحب الطعام ؟ قال: أصابته السماء يا رسول الله.قال: أفلا جعلته
فوق الطعام حتى يراه الناس.من غشنا فليس منا.
[26]
Disebutkan
oleh beberapa ulama sirah. Maknanya terdapat juga dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad. Lihat: Muhamad al-Zuhayli,Tārikh
al-Qadlā’, hlm. 52
[27]
Lihat lebih lanjut: Muhamad
al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’, hlm. 56